MENCARI sistem moda transportasi umum massal yang ideal di Kaltim memang tidak mudah. Di darat khususnya, jalan-jalan yang menghubungkan kabupaten/kota di Kaltim belum sepenuhnya mulus. Di dalam kota, minimnya ruang dan banyaknya pengembangan kawasan baru menjadi tantangan untuk menyediakan sarana yang tepat yang efektif dan efisien.

Kepala Balai Pengelola Transportasi Darat (BPTD) Wilayah XVII Kaltim-Kaltara Muiz Thohir kepada Kaltim Post menjelaskan, banyak faktor yang menjadi penentu sarana transportasi umum massal yang tepat untuk Kaltim. Tetapi jika berbicara kondisi Kaltim saat ini, dua hal yang utama, yakni ketersediaan sarana dan infrastruktur penunjang dan isu kenaikan dan kelangkaan bahan bakar minyak (BBM).

“Kemudian soal emisi. Moda transportasi yang menjadi fokus saat ini; kan bagaimana memindahkan penumpang dari satu tempat ke tempat lainnya itu harus rendah emisi. Di sisi lain memikat masyarakat untuk mau menggunakannya. Sehingga mengurangi penggunaan kendaraan pribadi,” jelas Muiz, Jumat (4/11).

Kata dia, mengembangkan moda transportasi umum massal tidak mudah. Contoh saja Jakarta dengan Trans Jakarta dan Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta. Sejak beroperasi pada 2004, perlu waktu panjang bagi mayoritas masyarakat Jakarta untuk beralih ke Trans Jakarta.

Pun persoalan klasik seperti macet dan penyalahgunaan jalur masih terjadi hingga kini. Di sisi lain, diperlukan regulasi yang memastikan masyarakat semakin “enggan” menggunakan kendaraan pribadi. “Seperti aturan 3 in 1 misalnya. Itu kan tujuannya, selain mengurangi kemacetan akibat kendaraan pribadi, juga untuk mendorong masyarakat di sana untuk pakai transportasi umum,” ucap Muiz.

Penyiapan sarana seperti jalan, akses pejalan kaki hingga angkutan pengumpan (feeder) yang ideal dan luas juga penting disediakan. Karena faktor seseorang lebih menggunakan kendaraan pribadi adalah sulitnya mendapatkan angkutan pengumpan yang dekat dengan rumah ataupun lokasi kerja mereka. “Jadi dari awal atau first mile hingga last mile-nya sudah harus tersedia,” imbuhnya.

Bagi dia, untuk pengembangan transportasi umum massal bukan persoalan di pembiayaan. Karena yang terpenting adalah menentukan rutenya lebih dulu. Karena dari keikutsertaannya di Sustainable Transportation Forum di Bali beberapa waktu lalu, diketahui banyak lembaga pembiayaan di luar negeri yang sangat berminat untuk berinvestasi di sektor transportasi massal di Indonesia.

“Soal pendanaan ini kan bisa dicari. Kalau dari daerah tidak sanggup bisa ke pusat. Atau sama-sama. Atau sekarang ini banyak dari lembaga seperti Bank Dunia dan GIZ (Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit GmbH) dari Jerman itu siap menjadi investor. Bahkan dari lembaga-lembaga keuangan ini membuka pintu untuk dana yang sifatnya hibah,” papar Muiz.

Bagi dia, mengembangkan transportasi umum massal tidak harus berpatokan dengan permintaan. Buat saja dulu, selebihnya masyarakat yang akan memilih. Visi kepala daerah di bidang layanan transportasi juga menentukan arah angkutan yang ideal di daerah tersebut.

“Akan ada proses adaptasi. Ketika mimpi membuat layanan transportasi umum massal ideal diwujudkan sesuai dengan kondisi daerah tersebut, maka akan tercipta ekosistem. Seperti Jakarta dengan Trans Jakarta dan MRT-nya,” ucap dia.

Menurut dia, Kaltim tidak perlu menciptakan sistem atau moda transportasi yang baru. Cukup mengadaptasi dari daerah-daerah yang sudah berkembang di sisi transportasi umum massalnya. Apalagi dengan keberadaan IKN, kebutuhan transportasi akan semakin bertumbuh. Seperti yang dilakukan pemerintah dengan menyediakan bus perintis DAMRI rute Balikpapan–IKN. “Ini kan upaya kami dalam memicu pertumbuhan dari sisi layanan transportasi ke rute yang baru dibuka,” ungkapnya.

Selebihnya, Muiz menyebut masih banyak wilayah di Kaltim yang kini sebenarnya perlu sentuhan transportasi umum massal. Tidak hanya rute Balikpapan–Samarinda–Bontang yang sudah eksis, tetapi hingga mencakup hingga utara Kaltim. Yang selama ini banyak dilayani angkutan menggunakan kendaraan pribadi yang tidak berizin alias taksi gelap.

“Ternyata pergerakan angkutan darat Samarinda–Tanjung Selor itu demand-nya luar biasa. Karena tiket pesawat yang mahal. Sayangnya saat ini dilewati angkutan yang ilegal itu, yang secara jaminan keselamatan itu tidak ada. Makanya pemerintah perlu hadir di sana,” ujarnya.

Sementara itu, pengamat transportasi Djoko Setijowarno berpendapat, dengan wilayah yang luas, Kaltim memiliki banyak wilayah aglomerasi, namun dengan jarak antara satu lokasi ke lokasi lainnya berjarak cukup jauh. Ini yang disebut menjadi tantangan.

“Kalau diberikan ke swasta, mereka enggak akan sanggup. Makanya perintis yang masuk. Seperti dari Samarinda ke Mahakam Ulu, itu kalau komersial swasta enggak bakal mau. Karena jaraknya yang jauh, belum lagi kondisi jalannya. Meski saat ini sedang diperbaiki,” ujar Djoko, Sabtu (5/11).

Karena itu, pemerintah mesti memperbanyak membuka lebih dulu rute-rute baru melalui angkutan perintis. Sambil memperbaiki kondisi jalan. Seperti di Kaltara, Djoko menyebut sebelumnya rute Tanjung Selor–Malinau dibuka melalui perintis kemudian berkembang menjadi komersial. “Jadi perbanyak perintis dulu di Kaltim ini,” sambungnya.

Untuk moda transportasi dalam dan antar-kota dalam provinsi, Djoko menyebut bus masih menjadi angkutan yang ideal. Seharusnya seperti Balikpapan, lebih fokus pada penyediaan layanan buy the service (BTS). Terbaru, seperti rute baru Balikpapan–IKN, yang sayangnya bagi Djoko, seharusnya pemerintah menyediakan armada yang baru. Sehingga penumpang lebih nyaman dan tertarik.

“Jadi ada antar-kotanya (Balikpapan–IKN) dan dalam kotanya (Balikpapan dan IKN) itu harus ada. Dan masyarakat asal mampu menjangkau, terjangkau dan nyaman, pasti naik pilih itu (transportasi massal),” ucapnya. (rom/k8)