Petani dan nelayan di Penajam Paser Utara (PPU) mengeluhkan distribusi bahan bakar minyak (BBM) jenis solar non-subsidi.

 

PENAJAM-Petani dan nelayan tak hanya menyoal tentang disparitas harga, tapi juga tentang sulitnya mendapatkan solar di pasaran. Persoalan ini mengemuka saat Aliansi Mahasiswa PPU diketuai Adam mendampingi petani dan nelayan berdiskusi dengan pejabat di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) PPU, Rabu (21/9). “Kami telusuri harga BBM solar di masyarakat petani dan nelayan, non-subsidi harganya bervariasi Rp 8.000-Rp 10.000, bahkan ada yang Rp 20.000 per liter. Kami mengharapkan kebijakan untuk merumuskan formula agar menemukan harga BBM bersubsidi bagi petani dan nelayan,” kata Rizik, juru bicara Aliansi Mahasiswa PPU kepada Pelaksana Tugas (Plt) Bupati PPU Hamdam.

Nurhasanah, perwakilan nelayan sepanjang pesisir Tanjung Jumlai, Kecamatan Penajam, PPU mengeluhkan pengelola BBM subsidi yang sedianya harga Rp 6.800 tambah biaya antar Rp 1.000 menjadi Rp 7.800 per liter. Tapi, kata dia, ini tak jadi masalah, dan yang jadi persoalan menurut dia adalah jadwal pendistribusian ke Pejala--salah satu desa di pesisir Tanjung Jumlai, yang tak pasti, kadang tiga hari sekali kadang lebih.

“Yang paling tak wajar menurut kami adalah, ketika kita mengorder BBM, pengelola harus mengumpulkan dana terlebih dahulu dari para nelayan, sehingga terjadi keterlambatan datangnya tangki BBM ke tempat kami, padahal jika BBM sudah ada, otomatis nelayan akan mengambil sesuai keperluan, prinsipnya ada uang ada barang,” kata Nurhasanah. 

Perwakilan nelayan dari Kelurahan Tanjung Tengah, Kecamatan Penajam, Riduan menambahkan, saat ini Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN) hanya ada di Desa Apiapi di Kecamatan Waru yang jaraknya sangat jauh dari Penajam, dan nelayan Pejala dan sekitarnya kesulitan jika harus ambil BBM ke sana. Tak hanya jauh tetapi berdampak pada ongkos transportasi. “Kami ingin bentuk pengelola agar dapat mengambil BBM secara kolektif, namun, tak direkomendasi pengelola di sana. Untuk itu kami berharap manajemen pengelola harus dievaluasi,” katanya.

Hal senada diungkap Suryanto, anggota gabungan kelompok tani (gapoktan) dari Kecamatan Babulu. Dia menjelaskan Babulu sebagai lumbung pangan daerah, tapi faktanya kini jadi lumbung sawit. Soal lainnya, sebut dia, petani dari mengolah lahan hingga panen hampir semua menggunakan alsintan seperti hand tractor, jonder, yang menggunakan BBM. Namun, ironisnya, kata dia, rerata BBM di sana peredarannya dikuasai semacam mafia, dan ini yang jadi kendala. “Untuk itu kami minta agar ada tangki BBM yang datang menyalurkan BBM bersubsidi agar pendistribusiannya tepat sasaran,” pinta Suryanto.         

Sementara itu, Plt Bupati PPU Hamdam didampingi Kabag Ekonomi Durajat dan Kabag Pembangunan Nicko Herlambang, berpendapat BBM bersubsidi memberatkan pemerintah karena pendistribusiannya sering tak tepat sasaran. Sejumlah orang, kata dia, mengambil kesempatan, membuat harga BBM di luar ketentuan, untuk raup keuntungan.

“Kami sudah sering komplain ke Pertamina, sehingga Pertamina memberikan kuota cukup, bahkan lebih terhadap kesediaan BBM yang dibutuhkan. Jika ini masih dirasa sulit oleh petani dan nelayan, kita berkesimpulan bahwa pengelolaan manajemen distribusi BBM ada kekeliruan,” kata Hamdam. “Namun kita tetap pikirkan solusinya, kita upayakan buat regulasi soal itu, kita coba usulkan untuk bangun SPBN di Pejala, dan SPBN di Babulu,” lanjutnya. (far/k16)

ARI ARIEF

[email protected]