KIEV – ’’Kejahatan telah dilakukan di Ukraina dan kami menuntut hukuman.’’ Pernyataan itu disampaikan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dalam pidato virtual di rapat Majelis Umum PBB (UNGA) di New York, AS, (22/9). Pemimpin 40 tahun itu menyerukan pembentukan pengadilan perang khusus dan memerinci dugaan kejahatan perang yang dilakukan Rusia.
’’Hukuman untuk kejahatan agresi. Hukuman untuk pelanggaran batas dan integritas teritorial. Hukuman yang harus diterapkan sampai perbatasan yang diakui secara internasional dipulihkan,’’ ujar Zelensky.
Ini adalah kali pertama Zelensky berpidato di hadapan para pemimpin dunia secara bersamaan sekaligus. UNGA kali ini memang diadakan secara offline, bukan virtual seperti saat pandemi. Hanya Zelensky yang diberi dispensasi khusus karena tengah memimpin perang di Ukraina.
Zelensky menegaskan bahwa pidato Presiden Rusia Vladimir Putin yang menyatakan akan mengerahkan 300 ribu tentara cadangan jelas menunjukkan bahwa Kremlin tidak memiliki iktikad untuk berdamai. Dia menyatakan bahwa perdamaian hanya bisa terjadi jika lima formula dipenuhi. Yaitu, hukuman untuk agresi Rusia, perlindungan kehidupan, pemulihan keamanan dan integritas teritorial, jaminan keamanan, dan tekad untuk membela diri.
Tidak cukup sampai di situ. Zelensky juga menegaskan bahwa invasi Rusia terhadap sesama anggota PBB telah merusak tatanan dunia. Karena itu, dia menuntut agar hak veto Rusia di Dewan Keamanan (DK) PBB dicabut. Selama ini DK PBB tidak bisa berbuat apa pun karena Rusia menjadi pemegang hak veto bersama dengan AS, Prancis, Inggris, dan Tiongkok. Sebagai contoh, Moskow memveto resolusi DK PBB yang diajukan beberapa hari setelah invasi yang menuntut Rusia mengakhiri serangannya terhadap Ukraina.
Pidato Zelensky disambut dengan standing ovation. Namun, mencabut hak veto Rusia tidak semudah membalikkan telapak tangan. Itu sama saja seperti ketika Zelensky meminta semua negara Barat memutus hubungan dengan Rusia dan menghukumnya. Rusia memiliki peran besar, terutama dalam ketersediaan bahan bakar di negara-negara Eropa. Persenjataan mereka juga mumpuni. Jika DK PBB mencabut hak veto Rusia, itu sama saja dengan menghilangkan sebagian taring mereka untuk mengamankan dunia.
Sementara itu di Rusia, situasi kian memanas setelah Putin menyatakan akan memobilisasi 300 ribu tentara cadangan. Mereka berasal dari penduduk sipil yang mampu angkat senjata. Itu tentu membuat syok penduduk. Sebab, sejak awal invasi, Rusia melabelinya dengan operasi militer khusus. Itu seakan memberitahukan bahwa serangan ke Rusia tidak berdampak ke penduduk. Namun, sekarang yang terjadi justru sebaliknya.
’’Pengumuman mobilisasi parsial ini berarti ribuan pria Rusia entah itu ayah, saudara, dan suami kita akan dilemparkan ke dalam penggiling daging di peperangan,’’ tulis lembaga Spring.
Setelah pidato Putin mencuat, penduduk Rusia terbelah menjadi tiga. Patuh pada kebijakan, menentang lalu turun ke jalan, ataupun mencari cara untuk meninggalkan Negeri Beruang Merah tersebut. Dua opsi terakhir paling banyak diambil.
’’Saya lebih baik pergi daripada ikut bertempur dalam peperangan ini. Jadi, ketika pemerintah nanti memanggil, saya sudah meninggalkan negara ini,’’ ujar Alexander, salah seorang penduduk Rusia.
Pencarian di Google dengan kata kunci ’’bagaimana meninggalkan Rusia’’ memang tengah melejit. Tidak cukup sampai di situ, tiket pesawat untuk pergi dari Rusia juga ludes dalam beberapa hari ke depan. Sebagian penduduk lainnya mencari cara tentang bagaimana mematahkan lengan. Dengan begitu, mereka tidak perlu lagi menjadi tentara dan melayani negara untuk berperang di Ukraina.
Sementara itu, mereka yang memilih turun ke jalan harus menghadapi kenyataan pahit. Dilansir CNN, lebih dari 1.300 demonstran ditahan di 38 kota di penjuru Rusia. Mereka adalah massa antiperang. Mayoritas yang ditahan adalah demonstran di Moskow dan St Petersburg. Lebih dari separo demonstran yang ditahan adalah perempuan.
Kelompok pemantau independen OVD-Info mengungkapkan bahwa sebagian demonstran yang ditahan itu langsung dimasukkan ke militer Rusia. Juru Bicara OVD-Info Maria Kuznetsova mengatakan, setidaknya empat kantor polisi di Moskow melakukan praktik tersebut.
’’Salah satu tahanan telah diancam dengan penuntutan karena menolak untuk direkrut,’’ ujar Kuznetsova.
Pemerintah Rusia baru saja menandatangani undang-undang baru yang mengkriminalisasi desersi. Di dalamnya dijelaskan bahwa jika menolak mobilisasi sekarang, hukumannya adalah 15 tahun penjara. Dengan kata lain, jika memang ingin meninggalkan Rusia, mereka mungkin tidak bisa kembali lagi. Jika pulang, mereka bakal dihukum.
Komentator pro-Kremlin Ilya Remeslo menulis di Telegram-nya bahwa berdasar informasi dari sumber tepercaya, mereka yang ikut ambil bagian dalam aksi demo akan menjadi kelompok pertama yang dimobilisasi. Dokumen akan diperiksa di tempat untuk mengidentifikasi. Setelah itu, akan ditentukan apakah ada yang ikut wajib militer. ’’Saatnya untuk melayani,’’ ujarnya.
Banyak pihak menilai bahwa Rusia saat ini memang sedang kewalahan untuk mendapatkan prajurit guna melawan Ukraina sekaligus mempertahankan wilayah yang sudah mereka kuasai. Terlebih dalam beberapa hari ke depan, empat wilayah yang sudah dikuasai milisi Ukraina pro-Rusia menggelar referendum. Rusia butuh pengamanan ketat agar referendum berjalan lancar dan wilayah tersebut menjadi milik mereka. (sha/c7/oni)