ISTANBUL – Pengiriman sampah plastik dari benua Eropa ke Turki berdampak besar. Proses pengolahan sampah tersebut mempengaruhi kondisi kesehatan dan lingkungan. Utamanya karena yang mengerjakan daur ulang tersebut adalah kelompok rentan seperti anak-anak, pengungsi dan imigran.
Hal tersebut diungkapkan dalam laporan Human Rights Watch (HRW) yang dirilis kemarin (21/9). Diungkapkan bahwa sejak penolakan Tiongkok, ekspor sampah plastik Uni Eropa (UE) ke Turki naik hingga 1.200 persen. Itu terjadi sejak 2018.
Separo sampah plastik di Benua Biru itu dikirim ke Turki. Tahun lalu ia mencapai 446.432 ton. Padahal ketika pembuangan ke Tiongkok masih bebas, jumlahnya hanya kisaran 38.804 ton per tahun.
Inggris yang sudah keluar dari UE, juga berkontribusi cukup besar. Bisa dibilang ia adalah eksportir tunggal sampah plastik terbesar ke Turki. Pada 2021 mereka mengirimkan 122.898 ton sampah plastik ke Negeri Dua Benua tersebut.
’’Kami menyerukan pada Inggris, UE dan negara lainnya agar mengurus sampahnya sendiri di dalam negeri daripada mengekspornya ke Turki di mana itu bisa melukai kesehatan manusia dan juga HAM,’’ tegas pemimpin penelitian HRW Krista Shennum seperti dikutip The Guardian.
Turki sempat melarang impor sampah plastik pada Juli 2021 lalu. Namun entah bagaimana, larangan itu hanya sementara. Aturan itu dicabut tanpa alasan yang jelas.
Dalam laporan 88 halaman berjudul ’’It’s as If They’re Poisoning Us: The Health Impacts of Plastic Recycling in Turkey’’ (Ini Seakan Mereka Meracuni Kita: Dampak Kesehatan dari Daur Ulang Plastik di Turki, Red) tersebut, HRW menuding pemerintah Turki telah memperburuk dampak kesehatan dan lingkungan pada para pekerja, karena telah gagal menegakkan undang-undang daur ulang. UU itu mengatur pentingnya lisensi ketat dan inspeksi rutin di lokasi. Dalam aturan hukum di Turki, seharusnya batas minimal bekerja di fasilitas daur ulang adalah 18 tahun. Namun kenyataan di lapangan tidak demikian.
Para pekerja di pusat daur ulang bukan hanya orang dewasa, tapi juga anak-anak mulai usia 9 tahun. Dari 64 orang yang diwawancarai HRW, sebanyak 26 di antaranya mengaku bekerja sejak masih anak-anak atau bahkan saat ini masih anak-anak. Sebagian lainnya adalah pengungsi dan imigran yang tidak memiliki akses ke fasilitas kesehatan. Mereka beresiko mengalami masalah kesehatan serius jangka panjang.
Para pekerja dan orang yang tinggal di sekitar lokasi daur ulang mengaku mengalami masalah pernafasan, sakit kepala parah dan penyakit kulit. Beberapa fasilitas daur ulang ada di dekat sekolah, rumah sakit serta rumah penduduk.
Ahmed, salah satu pekerja di fasilitas daur ulang di Adana selama 5 tahun terakhir mengaku bahwa tumpukan sampah itu mengeluarkan gas. ’’Ketika saya menghirupnya, rasanya seperti paru-paru saya terjepit dan tertekan,’’ ujarnya. Begitu dia berhenti bekerja di tempat itu 2 bulan lalu, masalah pernafasannya langsung berkurang signifikan.
Sementara itu di AS, Departemen Kehakiman (DoJ) telah mendakwa 47 orang. Mereka diduga menggelapkan dana bantuan Covid-19 sebesar USD 250 juta (Rp 3,75 triliun). Uang tersebut dihabiskan untuk membeli barang mewah. Padahal itu adalah dana bantuan pemerintah untuk menyediakan makanan bagi anak-anak yang membutuhkan selama pandemi.
Itu adalah kasus skema penipuan terbesar terkait bantuan Covid-19. Para terdakwa menghadapi berbagai tuduhan, termasuk konspirasi, penipuan via telepon, pencucian uang, dan membayar serta menerima suap ilegal.
Jaksa mengungkapkan bahwa pelaku mendirikan perusahaan cangkang yang terhubung dengan organisasi nirlaba yang berbasis di Minnesota, Feeding Our Future.
’’Feeding Our Future merekrut orang untuk membuka Program Nutrisi Anak Federal. Mereka mengklaim menyediakan makanan untuk ribuan anak setiap hari padahal lembaganya baru dibentuk dalam hitungan hari atau justru pekan,’’ bunyi pernyataan DoJ.
Untuk menjaga tipu muslihat, para terdakwa diduga menyerahkan faktur palsu untuk makanan yang disajikan kepada anak-anak. Mereka juga membuat daftar nama palsu untuk menunjukkan siapa yang diberi makan. Para terdakwa menggunakan hasil skema penipuan untuk kepentingan pribadi. Seperti membeli real estate di Minnesota, Kenya dan Turki, mobil mewah, perhiasan, untuk mendanai perjalanan internasional, dan banyak lagi. (sha/bay)