DPRD Kubar akan menggandeng BPKP untuk mengaudit perusahaan perkebunan sawit. Ini dilakukan karena banyak perusahaan dianggap tidak transparan soal dana talangan, pinjaman bank, maupun bagi hasil kebun plasma dengan para petani.

 

SENDAWAR – Anggota DPRD Kubar Jainuddin mengatakan, perjanjian kemitraan 80:20 persen antara kebun inti dan plasma, tidak jelas. Kadang masyarakat dihadapkan atau dibenturkan dengan aparat keamanan. Sementara pihak perusahaan tidak mengurus lahan plasma dengan baik.

“Padahal, itu hak masyarakat,” kata Jainuddin. Hal senada disampaikan anggota DPRD Kubar, Syaparuddin. Dia menyebut, ada beberapa perusahaan perkebunan sawit yang sudah berganti kepemilikan alias take over. Tetapi belum pernah diaudit lembaga berwenang.

Sebelum Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan audit sektor sawit, kesempatan untuk melakukan perbaikan. “Kami (DPRD) siap memfasilitasi. Jangan sampai dicabut izin operasionalnya,” tegas Apung, panggilan akrab Syaparuddin.

Sementara itu, Ketua DPRD Kubar Ridwai mengatakan, hampir semua perusahaan belum akad kredit di bank. Tetapi para petani plasma diwajibkan membayar utang yang mereka sendiri tidak tahu persis. Utang itu dipotong dari hasil panen kebun plasma.

“Kalau belum akad kredit, berarti petani belum ada utang. Perusahaan menyampaikan bahwa uang yang dipotong dari hasil kebun itu persiapan untuk akad kredit. Menurut kami itu salah,” ujar Ridwai, yang juga merupakan anggota Pansus Plasma Sawit DPRD Kubar.

Ia menilai, pemotongan utang itu merugikan petani. “Ketika kita tanya, mereka selalu bilang baru mau (akad kredit). Buktinya sampai hari ini tidak ada. Itu yang kita khawatirkan, ketika nanti akad kredit ada yang di luar kemampuan petani plasma itu, bisa besar sekali. Jelas ini merugikan petani,” katanya.

Akibat pemotongan itu, para petani plasma hanya menerima Rp 50-100 ribu per hektare. “Perusahaan dan koperasi selalu bilang itu sisa dari bayar kredit bank, pemupukan, perawatan. Sementara akad kredit belum ada, kok sudah ada pemotongannya,” jelas ketua dewan.

Karena itu, DPRD Kubar meminta BPKP mengaudit semua perusahaan sawit di daerah, agar masyarakat tidak terus-terusan dirugikan. Jika terbukti ada indikasi penyimpangan atau penghilangan hak-hak petani plasma, DPRD meminta pemerintah mengevaluasi kembali izin yang diberikan.

“Kalau BPKP mengaudit ada indikasi pelanggaran khususnya pidana, jelas itu ke arah ranah pidana. Selanjutnya izin perusahaan yang bersangkutan kami berharap dicabut,” jelasnya.

Ketua Pansus Plasma DPRD Kubar Yono Rustanto Gamas menyebut, dari semua perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kubar, baru sekitar 9,6 persen yang memiliki kebun plasma. Padahal kebun kemitraan itu adalah kewajiban perusahaan. “Baru 9,6 persen kebun plasma yang terbangun di Kubar dari total perusahaan sawit di Kubar,” sebut Tanto. (kri/k16)

 

HARTONO

[email protected]