Tak hanya memastikan ketersediaan energi secara nasional, SKK Migas bersama KKKS juga hadir menyelesaikan berbagai permasalahan di tengah masyarakat.
KRINGG... kring... kring.... Suara khas dari benda kotak berwarna merah tersebut membangunkan Delita. Jarum pendek tepat menunjuk angka tiga. Secara perlahan, perempuan paruh baya tersebut mengangkat tangannya. Menyingkap selimut yang masih menutupi separuh badan. Berusaha menggapai tombol yang berada di balik jarum tersebut.
“Bismillah,” gumam perempuan yang karib disapa Nenek Adnan oleh tetangganya itu. Fajar masih lama menunjukkan keindahannya. Namun Delita dituntut bangun lebih awal. Dia harus segera memasak ikan dan ayam yang sudah dibumbui beberapa jam sebelumnya. Ini adalah menu utama jualan di pagi hari. Di mana biasanya sudah banyak pekerja di kawasan Balikpapan Timur menunggu hasil racikan Delita. Di kawasan Jalan Mulawarman.
Dengan mata yang masih sayup, dia lantas mencari korek api. Meja dengan tinggi sekitar 1 meter menghentikan langkahnya. Di situ dia mencari, berjejer tempat piring dan gelas. Ketemu. Dia lalu memutar keran gas methane yang tersambung ke kompornya tak jauh dari tempatnya berdiri. Kemudian memicu api di aliran gas tersebut.
Kompornya sedikit berbeda jika dibandingkan dengan kompor gas pada umumnya yang tersambung dengan gas LPG milik Pertamina. Sudah dimodifikasi. Bukannya selang, tapi tersambung dengan pipa paralon yang menjulur dari balik dinding. “Sejak dua tahun lalu. Saya memutuskan untuk pakai lagi kompor ini mas,” ungkap Nenek Adnan didampingi Ketua Pengelola Gas Metane, Karti kepada Kaltim Post baru-baru ini.
Dia beralasan, penggunaan gas methane sangat membantu jalannya usaha nasi kuning miliknya. Selain biayanya murah, gasnya tersedia 24 jam. Dan tidak perlu antre untuk mendapatkan gas tersebut.
Nenek Adnan mengaku pernah kecewa. Dan memutuskan kembali menggunakan gas melon, sebutan tabung gas LPG 3 Kg. Karena suplai gas methane ke rumah-rumah warga saat itu sering terhenti. “Sekitar tahun 2014-an saya sempat ikut pakai gas methane, tapi ga lama karena gasnya sering mati-mati. Jadi saya kembali ke gas LPG biasa. Ingat betul saya, dulu pernah bahan masakan ga matang karena gasnya mati saat memasak. Malah rugi,” kenangnya. Namun dia memastikan sejak dua tahun lalu tidak pernah ada masalah lagi. Lancar.
Karti membenarkan bahwa sebelum mendapat bantuan dari PT Pertamina Hulu Mahakam (PHM), salah satu Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di bawah Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) pada 2018 lalu, gas methane dari TPA Manggar sudah mulai dialirkan ke warga sekitar. Namun tidak ada pengelolanya. Sehingga tidak maksimal dan akhirnya kembali ditinggalkan oleh masyarakat.
Nah, kendala ini disampaikan ke PHM. Yang kemudian hadir pada 2018 lalu. Selama setahun, perusahaan yang mencari migas di Wilayah Kerja Mahakam ini memberikan solusi. Termasuk membentuk kelompok pengelola gas methane yang diketuai Karti tersebut. Mulai cara merawat jaringan gas hingga membekali mereka dengan kemampuan penanganan bencana jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Setahun berselang, mulailah jaringan gas dibangun kembali. Ada beberapa inovasi yang diterapkan. Termasuk dibuatkan manipol di dekat sumber gas sebagai pengatur utama aliran gas ke masyarakat. Juga separator-separator di sepanjang aliran gas sebagai tempat penampungan gas ketika tidak ada masyarakat yang menggunakan untuk memasak.
“Awalnya masyarakat ragu. Karena punya pengalaman buruk. Malas kerja dua kali. Dalam artian, takut nanti harus kembali ke gas LPG lagi. Padahal kompornya sudah dimodifikasi ke gas methane,” kata Karti. Makanya untuk sambungan gas pada 2019 lalu hanya dimanfaatkan 42 rumah saja. Warga RT 36 dan 61.
Setelah melihat hampir tiga bulan berjalan dan suplai gas ternyata normal, barulah warga kembali tertarik memasang lagi. Pada 2020, banyak warga mulai tersambung jaringan gas methane. Di saat bersamaan sebagian besar warga di kawasan tersebut penghasilannya sedang terjun bebas akibat masuknya wabah Covid-19. Ibarat peribahasa, sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Diungkapkan Karti, di sekitar TPA Manggar warga banyak yang bekerja sebagai pemulung. Saat pandemi, banyak yang mengeluh harga plastik turun. Dari harga biasa Rp 1.100 per kilogram menjadi Rp 250 per kilogram. Belum lagi para buruh serabutan dan tukang banyak kehilangan kerja karena sepi proyek pembangunan. Saat itu pemerintah memang mengalokasikan dana ke penanganan Covid-19. Hampir semua instansi anggarannya di pangkas.
“Karena sulit ekonomi juga, makanya banyak yang minta gas methane. Sekarang total sambungan gas sudah mencapai 273 rumah. Naik lebih 6 kali lipat,” ungkapnya bangga. Melihat kondisi warga sekitar TPA Manggar kesulitan, PHM berinisiasi membangunkan Warung UKM Gas Methane. Mengajak masyarakat memanfaatkan melimpahnya gas methane untuk memproduksi berbagai makanan.
Salah satu yang tertarik adalah Rahma. Dia mulai berjualan kue basah dan nasi kuning setiap harinya. Juga memproduksi beberapa makanan ringan yang dipasarkan lewat Warung UKM Gas Methane. Ada tiga produk unggulannya. Kue telur gabus, kacang disko, dan kue jintan. “Saya lihat di warung UKM belum ada tiga makanan ini. Jadi saya tertarik membuatnya,” ujar Rahma.
Pendapatan keluarga diungkapnya semakin membaik. Sebulan dia bisa mengumpulkan omzet Rp 9 juta berkat berbagai macam olahan yang dibuatnya. “Terbantu sekali,” tambahannya. Selama ini, dia belum pernah mengalami kendala saat menggunakan gas methane. Suplainya stabil. Kecuali ada perbaikan pipa, barulah gas mengecil. Tapi sebentar saja, tidak pernah lebih dari sejam.
Tak jauh dari rumah Rahma berdiri pula Warung Kopi Gas Methane milik Jamaliah. Dia mengaku senang dengan adanya suplai gas yang stabil. Kini dia tidak perlu lagi mengantre untuk mendapatkan gas melon dan bisa lebih maksimal di dapur. “Saya juga memproduksi keripik singkong untuk dijual di warung UKM. Alhamdulillah bisa buat tambah-tambah,” terangnya.
Tak hanya fokus berjualan, dia juga aktif mengajak para ibu-ibu di sekitar rumahnya membuat produk makanan. Khususnya yang masih muda. “Mereka kan idenya bagus-bagus. Pasti bisa menghasilkan produk yang bagus juga,” imbuhnya.
Pemilik Pabrik Tahu di RT 61 Sutrisno juga tertarik menggunakan gas methane karena selama ini dia menggunakan bahan bakar kayu untuk memasak tahu. Selain biaya yang cukup mahal, mencapai Rp 300 ribu per minggu juga sulit mendapatkan pasokan. Ditambah lagi perlu pengeluaran ekstra untuk mengangkat kayu.
“Kalau pakai gas methane, kami mikirnya bisa lebih hemat tenaga. Jadi maksimal untuk produksi tahu,” ujarnya. Kini, cost untuk biaya bahan bakar dialihkan ke gaji karyawan.
Karti melanjutkan, saat ini juga sudah berdiri tempat sauna dengan sumber panasnya dari gas methane. Ini biasa dimanfaatkan masyarakat sekitar yang ingin merawat badannya. Juga untuk menghilangkan lelah-lelah. Biayanya murah, hanya Rp 10 ribu per orang.
Head of Communication, Relations, &CID Zona 8 PT PHM Frans A. Hukom mengatakan, pihaknya tertarik membantu masyarakat sekitar TPA Manggar karena ada potensi gas dari timbunan sampah yang bisa dimanfaatkan warga untuk kebutuhan memasak. Dan berkat kolaborasi baik dengan warga yang tergabung di dalam kelompok pengelola gas methane, ternyata warga menyambut antusias.
“Ditargetkan tahun ini rumah yang tersambung jaringan gas ada 300. Dan sudah ada 270 lebih. Kami yakin target ini bisa tercapai karena informasinya banyak yang mengantre untuk mendapatkan sambungan gas methane,” ujar Frans saat berkunjung ke TPA Manggar belum lama ini.
Dia meyakini target tersebut bisa saja dicapai dalam waktu dekat. Namun Frans mengingatkan perlunya pengembangan kapasitas pengelola. Jangan hanya memikirkan memperbanyak jaringan, namun nantinya suplai dan perawatan tidak tertangani dengan baik. “Sejauh ini, mereka menyanggupi jika hanya 300 rumah. Namun untuk lebih dari itu, masih perlu dilihat dari sumber gasnya dan perawatan jaringannya,” tuturnya.
Diungkapkan Frans, program waste to energy for community (Wasteco) tidak bisa sepenuhnya berjalan hanya mengandalkan perwira PHM. Melainkan berkat kerja keras masyarakat sendiri. Pihaknya hanya membantu agar suplai gas stabil dengan salah satunya membuat separator. Untuk memisahkan air dan gas agar mudah terbakar. Karena jika kandungan air terlalu banyak, api yang dihasilkan kurang maksimal. Harus diturunkan.
Selain membangun jaringan, pihaknya melakukan penguatan pada kelompok pengelola. Karena mereka harus bisa melakukan perawatan dan mengantisipasi terjadinya kebakaran. Frans memastikan gas yang mengalir ke masyarakat sangat aman. Tekanannya rendah, sehingga cukup disalurkan ke masyarakat menggunakan pipa paralon. “Tim HSSE kami juga sudah memberi pembekalan kepada pengelola, jadi warga tidak perlu khawatir,” bebernya.
Kepala UPTD TPA Manggar Herianto mengatakan, kehadiran PHM membantu Balikpapan meraih berbagai prestasi lewat TPA Manggar. Tak hanya penghargaan level nasional seperti piala adipura paripurna, Kota Beriman juga mendapat penghargaan di level Asia Tenggara dalam event ASEAN Environmentally Sustainable City (ESC) Award 2021.
Dia menyebut, volume sampah yang masuk TPA Manggar sebanyak 350 ton per hari. Dengan potensi sekitar 737.999 m3 gas methane yang dihasilkan dari tumpukan sampah per tahunnya. Potensi ini jadi maksimal berkat sentuhan PHM pada 2019 lalu di mana manipolnya yang dibuat bisa mengakomodasi 200 sambungan rumah tangga.
Berkat PHM, 462.680 m3 gas methane telah dimanfaatkan oleh masyarakat per tahunnya. Dengan radius 2,5-3 kilometer. Jika dikonversi ke tabung gas melon, masyarakat telah menghemat Rp 33,6 juta per tahun. Sementara bagi pelaku UKM berhemat hingga Rp 52 juta per tahun. “Di sekitar TPA Manggar berdiri 10 UKM, 10 warung dan 2 pabrik tahun dan gula. Mereka semua memanfaatkan gas methane,” ungkapnya.
Selain masyarakat, saat ini gas methane juga dimanfaatkan sebagai penggerak dua mesin mobil yang dijadikan sumber pencahayaan di TPA Manggar. Khususnya di landfill 5, 6, dan 7. Dari sini, pengelola berhemat 3.650 k watt per tahun. Atau sekitar 20 persen kebutuhan listrik di sana.
ATASI MASALAH PERIKANAN DI PENAJAM
BULATIH: Anggota kelompok budi daya ikan di Sebakung Jaya, Penajam membuat pakan ikan dengan sumber utama protein dari maggot.
Di Penajam Paser Utara, keberadaan Pertamina Hulu Kalimantan Timur (PHKT) memberikan harapan bagi ratusan warga desa Sebakung Jaya, Kecamatan Babulu. Daerah ini memiliki potensi besar sebagai penghasil ikan air tawar. Karena mereka memiliki bekal kolam ikan dari pemerintah saat transmigrasi ke Bumi Etam.
“Setiap rumah minimal punya satu kolam ikan. Ada yang dua bahkan sembilan kolam,” kata Ketua Kelompok Budi Daya Ikan (Pokdakan) Biawan Muhammad Bintang Wahyu Aji, Jumat (8/9). Namun potensi tersebut selama ini belum dimaksimalkan.
Bintang bercerita, masyarakat enggan serius mengembangkan budi daya ikan air tawar karena belum menemukan formula terbaik dari bisnis tersebut. Saat awal-awal transmigrasi, mereka sudah pernah mencoba. Memasukkan bibit ikan di kolam masing-masing. Macam-macam. Ada patin, nila, gurami, hingga emas. Namun berat di ongkos pakan. Bukannya untung, tapi merugi.
“Ujung-ujungnya ikan yang dibudidaya bukan dijual tapi buat konsumsi pribadi. Kalau ga ada lauk, dipancing. Kalau ada tamu, dipancingkan ikan. Gitu-gitu aja mas. Abis itu vakum,” kata pria ramah tersebut. 10 tahun tak difungsikan, masyarakat kembali memasukkan ikan ke kolam. Tapi bukan budi daya, hanya menjaga agar kolam tidak ditumbuhi tumbuhan liar. Hingga pada 2008-2010 lalu beberapa warga mulai mencoba peruntungan kembali.
Lagi-lagi, masalah pakan menjadi penghambat. Saat itu, pakan dengan protein 30 persen sekarungnya dibanderol Rp 400 ribuan. Bintang memberi ilustrasi, untuk mengembangkan bibit ikan 10 ribu ekor minimal harus membutuhkan pakan sekitar 40-45 karung. Atau sekitar Rp 20 juta untuk pakan saja. Dengan masa panen 3 bulan. “Itu semestinya. Tapi belum ada warga di sini yang sampai ke titik itu karena keterbatasan modal,” ujar Bintang.
Dari masalah itu, PHKT bersama warga berdiskusi. Muncullah program Bulatih atau Budi Daya Lalat Hitam. Dengan goal-nya memproduksi pelet pakan ikan dengan sumber utama protein dari magot atau telur lalat yang sudah berbentuk ulat. Untuk tahap awal, pada April 2022 PHKT membangunkan rumah magot di lahan milik warga. Berisikan sembilan biopond, atau tempat pembesaran magot. Selesai pada Agustus. Kemudian diberi bibit maggot sebanyak 15 kilogram. Ini untuk mengisi tiga biopond.
“Sampai tahap ini, kami sudah bisa menghasilkan siklus lalat hitam dan mengisi 6 biopond. Nantinya setiap satu siklus (21 hari), kami bisa menghasilkan magot sekitar 150 kilogram,” seloroh Bintang dengan yakin.
Dengan magot, Bintang yakin nantinya para peternak bisa meraup untung. Sebab, ongkos pakan bisa dipangkas hingga 50 persen. Jika sebelumnya per kilogram pakan harus merogoh kocek Rp 16 ribu, nanti mereka hanya perlu ongkos sekitar Rp 7-9 ribu untuk membuat pelet sendiri dari magot. Untuk beli jagung dan bahan lainnya. Saat ini mereka juga sudah memiliki alat produksi dan laboratorium sendiri untuk memproduksi pelet. Sehingga kandungan di pakan terjamin kualitasnya.
“Walau belum berhasil membuat pelet sendiri, kami sudah memberi makan ikan warga dengan magot. Selingan, sehari pelet, sehari magot hidup. Alhamdulillah, anggota kelompok kami antusias,” tuturnya. Beberapa juga sudah menerima keuntungan dari hasil panen pertama mereka.
Untuk pemeliharaan, Bintang memastikan sangat mudah. Tidak ada kendala, hamanya hanya semut dan tikus. Budi daya magot diklaim baik untuk lingkungan karena zero waste. Justru membantu pemerintah dalam menangani sampah. Makanannya saat ini adalah sampah sayuran dari Pasar Babulu. Mereka meminta pedagang agar sayuran yang tidak laku untuk tidak dibuang, tapi dikumpulkan. Nanti mereka yang ambil untuk makan magot.
Dikatakan zero waste karena ga ada yang tersisa. Kotoran magot bisa untuk pupuk. Sementara lalat yang mati juga bisa dijadikan makanan magot atau ikan. Ke depan, Bulatih akan disinergikan dengan program kampung perikanan air tawar milik Pemkab Penajam Paser Utara. Diketahui, Sebakung Jaya saat ini juga diplot sebagai desa 1.000 kolam.
“Kalau sudah bisa memproduksi pelet, nantinya akan menyuplai pakan para peternak di kampung sini,” katanya. Saat ini, mereka juga dibekali ilmu pengolahan ikan oleh PHKT agar hasil budi daya nantinya bisa masuk ke perusahaan. Agar mendapatkan profit tinggi dan menarik minat anak muda untuk terjun ke peternakan. Membuka lapangan kerja, tidak mencari pekerjaan kantoran.
Terpisah, Plt Bupati Penajam Paser Utara, Hamdam Pongrewa mengapresiasi program Bulatih dari PHKT. Sebab saat ini pemerintah tengah mengembangkan kampung perikanan budi daya air tawar untuk memenuhi kebutuhan makanan yang mengandung banyak nutrisi. Pembentukan kampung ini sekaligus membantu menopang perekonomian masyarakat.
Apalagi Kabupaten Penajam Paser Utara bakal menjadi daerah penyangga IKN Indonesia baru bernama Nusantara. "Desa Sebakung Jaya di Kecamatan Babulu memiliki potensi yang cukup besar untuk kembangkan budi daya ikan air tawar. Di setiap rumah warga memiliki kolam ikan yang cukup luas dan sudah lama ingin jadikan Desa Sebakung Jaya sebagai desa seribu kolam," tambahnya.
Pengembangan kampung perikanan budi daya air tawar sejalan dengan program pemerintah pusat, sesuai Peraturan Nomor 47 Tahun 2021 tentang Kampung Perikanan Budi Daya Air Tawar. Peraturan tersebut diterbitkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan yang dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
BUAT MASYARAKAT DI DAERAH TERLUAR “MERDEKA”
MERDEKA: Anggota Bumdes Tani Baru, Kutai Kartanegara memeriksa kecep
Masyarakat RT 13, Kampung Tanjung Pimping, Tani Baru, Kutai Kartanegara selama ini belum utuh menikmati kemerdekaan Indonesia. Mereka baru bisa merasakannya sejak 2018 lalu berkat bantuan solar home system (SHS) dari PHM.
Letaknya yang berhadapan dengan Selat Makassar, warga Tanjung Pimping memang seperti terisolasi dari hingar bingar perkotaan. Bahkan di perkampungannya, warga tidak memiliki kendaraan roda dua. Jadi untuk sekadar bermain ke rumah tetangga yang berjauhan, mereka harus berjalan kaki melewati pematang tambak.
Desa dengan luas 450 km persegi ini paling dekat dijangkau dari Desa Sungai Mariam, Kecamatan Anggana. Jaraknya sekira 120 km, butuh waktu sekira 3-4 jam dijangkau dengan ketinting.
Sebagai salah satu warga yang mendapat bantuan SHS, Jay Taufiq mengaku senang. Jay yang tinggal di daerah tersebut sejak 1995 silam, dia belum pernah menikmati layanan listrik dari perusahaan listrik negara (PLN). Padahal ini merupakan salah satu kebutuhan dasar mereka. Selain untuk penerangan pada malam hari, juga menghindari serangan hewan buas.
Memang, dulu pada 2015 dia bersama warga lain sempat merasakan layanan listrik. Berkat Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan. Namun, layanan tersebut tidak dinikmati dalam waktu lama. Hanya dua tahun. Layanan terhenti karena masyarakat kesulitan membayar iuran per bulannya.
Contohnya keluarga Jay yang hanya memiliki satu peralatan elektronik berupa televisi 21 inci, mereka harus merogoh kocek Rp 330 ribu per bulannya. Jika ada tambahan peralatan elektronik lainnya bisa mencapai Rp 400 ribu per bulan. Nominal tersebut tergolong berat karena warga hanya menggantungkan pendapatan dari alam.
Jay sendiri bekerja sebagai pencari kepiting di laut, sama seperti sebagian besar masyarakat Tanjung Pimping. Karena mengandalkan kondisi alam, penghasilannya pun tidak menentu. “Kadang dapat Rp 50 ribu. Kadang juga tidak ada pemasukan. Paling banyak Rp 100 ribu,” ungkap Jay.
Penghasilan Jay makin mengecil ketika pemerintah melarang kepiting bertelur diperjualbelikan. Padahal jenis ini dulunya menjadi andalan warga dalam meraup pundi-pundi rupiah. Harganya bisa mencapai Rp 300 ribu per kilogram. Apalagi ketika Imlek, permintaan kepiting meningkat signifikan.
Tapi karena tidak boleh, para peternak berinisiatif dengan memelihara. Dititipkan kepada tetangga yang memiliki tambak. “Nanti kalau panen, hasilnya dibagi dua dengan pemilik tambak. Tapi ini tidak bisa ditunggu juga. Karena kadang tidak ada kepitingnya di tambak. Entah mati atau apa,” ungkapnya.
Dengan pendapatan yang tidak menentu, Jay dengan bulat memutuskan tidak menggunakan jaringan listrik dari PNPM Mandiri Perdesaan. Juga dengan masyarakat lain. Apalagi mereka juga memiliki pengeluaran rutin yang tidak bisa ditawar. Mereka harus membeli air untuk mandi, mencuci, dan minum. Sebesar Rp 35 ribu untuk 200 liter. Ya, di sana warga masih mengandalkan tadah hujan.
Keluarga Jay juga harus benar-benar pintar mengelola keuangan. Sebab dia memiliki tiga buah hati yang duduk di bangku sekolah. Satu berada di kelas SD, satu masih SMP, dan satu di bangku SMA. Saking tidak menentunya keuangan tiap bulan, dia memutuskan untuk menitipkan anak bungsu dan pertamanya ke orang tua di Jawa.
Dia juga mengirim buah hatinya baru lulus SD ke Jawa. Karena sekolah di wilayahnya hanya sampai tingkat SD. Untuk wilayah Desa Tani Baru, sebenarnya ada SMP dan SMA negeri. Namun memiliki jarak sekira 40 Km dengan Tanjung Pimping. Dan hanya bisa ditempuh menggunakan kapal. Di sini tidak ada jalur darat yang menghubungkan dua daerah ini.
“Orang di sini memilih menitipkan anak (untuk sekolah) ke keluarga di Sungai Mariam. Ongkos ke Tani Baru sangat besar. Kami harus punya ketinting dan menyediakan solar setiap hari. Sementara kami sulit mendapatkan solar,” bebernya.
Berkat bantuan SHS dari PHM, buah hatinya bisa belajar hingga tengah malam. Keluarganya juga bisa menikmati berbagai acara televisi saat siang dan malam. “Dulu kami kalau malam gelap-gelapan. Penerangannya hanya dari lampu ublik (lampu portabel berbahan bakar solar),” terangnya.
Ditanya mengenai keinginan untuk meninggalkan Tanjung Pimping, dia dengan tegas menampiknya. Alasannya dia senang dan bersyukur dengan kehidupan saat ini meski sulit mencari pendapatan. “Walau harus jalan 4 kilometer untuk dapat kepiting, saya bersyukur. Di sini setiap hari saya dapat uang langsung. Kepiting yang saya dapat bisa langsung dijual. Berapa pun jumlahnya,” ujarnya.
Senada, Ma Indeng, salah satu generasi pertama di Desa Tanjung Pimping menuturkan kampungnya pertama kali dihuni pada 1981 oleh beberapa warga Desa Tani Baru yang dipimpin Mallati, termasuk dirinya. Dulu, wilayah ini hutan. Perlahan hutan tersebut dibuka untuk perkebunan.
“Awalnya kami menanam pisang, kelapa, dan jagung. Ukuran tanah kami bukan meteran. Tapi depa (panjang lengan),” kenangnya. Dulu, di kawasan ini juga tidak ada yang memiliki empang atau tambak. Karena belum ada sungai. Nah, pada era 1990 barulah warga membuat sungai (Handil). Saat pasang, air masuk ke permukiman warga. Akhirnya daratan untuk berkebun pun diubah jadi empang.
Pada 1998, setelah banyak empang terbuat barulah banyak orang tertarik memiliki lahan di Tanjung Pimping. Dari awalnya hanya sekira 20 orang, kini sudah banyak. Berdasar data daftar pemilih tetap (DPT) Pemilihan Presiden 2019, ada 130 jiwa yang memiliki hak pilih dengan 52 KK. Ada juga warga luar yang membeli tambak untuk beternak udang tiger, salah satu komoditas andalan ekspor Bumi Etam.
“Sekarang orang sini juga banyak yang kerja menjaga tambak orang luar. Tapi rata-rata mereka punya tambak sendiri. Isinya udang tiger dan bandeng,” ujarnya. Untuk penghasilan, dia mengungkapkan tidak menentu. Dan bukan per bulan. Tapi tiga bulan sekali. “Sekali panen paling tinggi Rp 10 juta. Tapi bisa juga tidak ada hasilnya. Bibit kami kadang mati. Kembali modal saja kadang sudah syukur,” imbuhnya.
Setelah ada listrik dari PHM, dia merasa terbantu. Saat ini ada penampungan hasil laut warga di rumah RT. Jadi ketika panen atau melaut, hasilnya bisa langsung dijual di penampungan. Sebelum ada listrik, warga kadang harus mengonsumsi sendiri hasil panen. Apalagi jika jumlahnya sedikit. Karena ongkos untuk menjual ke Sungai Mariam cukup besar.
“Di sini yang punya genset juga sedikit. Karena ongkos minyaknya besar, warga lebih memilih pakai obor,” tuturnya. Setelah ada SHS dari PHM, dia mengaku pengeluaran untuk penerangan jadi kecil. Pada saat pemasangan cukup besar. Sebesar Rp 1,3 juta. “Tapi setelah itu kami hanya iuran 30 ribu per bulan selama 10 bulan. Setelah itu tidak ada iuran lagi. Sangat membantu,” terangnya.
Direktur Bumdes Tani Baru Muhammad Idris mengatakan, iuran yang dilakukan masyarakat uangnya akan digunakan untuk melakukan perawatan SHS. Jika terjadi kerusakan selama membayar iuran, pihaknya akan mengganti alat yang rusak. Bukan membayar rangkaian SHS yang normalnya dijual di kisaran Rp 12 juta.
“Selama iuran, kami memberi garansi. Jadi kalau ada alat rusak langsung kami ganti yang baru. Setelah iuran berhenti, garansi tidak diberikan lagi. Jika ada yang rusak, warga bisa minta tolong perbaikan ke Bumdes,” ucapnya.
Adapun program SHS PHM pada 2017 awalnya hanya terpasang 17 unit di fasilitas umum seperti sekolah, puskesmas pembantu, kantor desa dan tempat ibadah. Kemudian sejak 2019 semua warga di Tanjung Pimping sudah menikmati listrik. (ndu)