KEMENTERIAN Agama (Kemenag) akhirnya merespons kejadian kekerasan fatal yang berujung meninggalnya seorang santri di Pondok Gontor. Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren) Kemenag Waryono Abdul Ghofur mengatakan, kasus kekerasan di lingkungan pendidikan agama dan keagamaan, termasuk pesantren, jangan terulang lagi.

’’Kekerasan dalam bentuk apapun dan dimanapun tidak dibenarkan,’’ katanya di Jakarta, Selasa (6/9). Waryono mengatakan Kemenag menyampaikan rasa duka cita mendalam terhadap keluarga almarhum Albar Mahdi bin Rusdi. Waryono berharap kejadian memilukan seperti itu tidak terjadi lagi di kemudian hari.

Waryono mengatakan ketika muncul laporan kasus di pondok Gontor itu, mereka langsung berkoordinasi dengan Kanwil Kemenag Jawa Timur. Kemudian diterjunkan tim dari Kantor Kemenag Kabupaten Ponorogo untuk menemui pihak terkait. Mereka turun ke lapangan untuk mengumpulkan berbagai informasi di lokasi kejadian.

 Waryono mengatakan sampai saat ini Kemenag terus memproses penyusunan regulasi pencegahan tindak kekerasan di lingkungan lembaga pendidikan agama dan keagamaan. Dia mengatakan saat ini tahapan pembuatan regulasi tersebut dalam tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM. 

’’Rancangan Peraturan Menteri Agama tentang Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Kekerasan mudah-mudahan tidak dalam waktu lama dapat segera disahkan,’’ tuturnya. Waryono berharap semua lembaga pendidikan agama dan keagamaan, melakukan upaya penyadaran dan pencegahan tindakan kekerasan sejak dini. Upaya tersebut perlu mendapat dukungan serta dijalankan oleh para pengasuh atau pengelola. Mereka harus aktif melakukan pengawasan dan pembinaan, supaya tindak kekerasan di pesantren atau sejenisnya bisa dicegah.

Pembuatan regulasi tersebut sudah berjalan cukup lama. Dimulai pada awal Februari lalu, setelah mencuat kasus pelecehan seksual pimpinan pesantren kepada 20 orang santrinya. Saat itu data yang masuk di Kemenag ada 12 laporan kekerasan seksual di lembaga pendidikan keagamaan. Selain di Bandung, laporan serupa juga muncul di Tasikmalaya, Kuningan, Cilacap, Kulon Progo, dan Bantul. Kemudian di Pinrang, Ogan Ilir, Lhokseumawe, Mojokerto, JOmbang, dan Trenggalek.

Berlarutnya pembuatan regulasi pencegahan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan keagamaan mendapatkan sorotan dari sejumlah pihak. Di antaranya disampaikan Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (Kornas P2G) Satriwan Salim. Dia mengatakan Kemenag terlalu lambat dalam menerbitkan PMA Pencegahan dan PEnanggulangan Kekerasan di satuan pendidikan berbasis agama. 

’’Sangat disayangkan, padahal tiap hari potensi kekerasan terus terjadi. Tetapi Kemenag lambat dalam meresponsnya secara regulasi,’’ tutur Satriwan. Dia mendesak supaya regulasi tersebut segera diterbitkan. Apalagi regulasi itu sebatas PMA, yang tidak perlu pembahasan melibatkan banyak pihak layaknya sebuah undang-undang. (wan/jpg/far)