Edi Apriliansyah, mantan lurah Sungai Kapih yang tersandung kasus pungutan liar (pungli) pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) di Kelurahan Sungai Kapih, menilai tuntutan JPU pada 23 Mei lalu terlalu berlebihan.

 

SAMARINDA–Menurut Edi, penyalahgunaan wewenang yang didakwakan tidak tepat. Mengingat tak pernah ada upaya paksa langsung yang dilakukan ke terdakwa dalam pengurusan sertifikat tanah tersebut, baik fisik maupun psikis.

“Dalam pelaksanaannya, terdakwa Edi tak sedikit pun mengharuskan warga membayar sejumlah uang dalam kegiatan tersebut,” ungkap Yayes Arianto dan Zainal Arifin, penasihat hukum Edi bergiliran membacakan nota pembelaan atau pledoi, kemarin (27/5).

Sebelumnya, JPU Indriasari menuntutnya bersama Ruslie AS masing-masing selama 5 tahun pidana penjara dengan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan pidana kurungan. Besaran pidana itu muncul setelah menimbang ulahnya yang menarik pungutan tak sesuai aturan dalam pelaksanaan PTSL.

Dari yang seharusnya Rp 250 ribu per administrasi PTSL setiap lahan sesuai berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, dan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi serta Peraturan Wali Kota Samarinda (Perwali) 4/2018 tentang Pelaksanaan PTSL di Samarinda.

Penerapan pungutan Rp 1,5–3 juta per lahan yang diurus bergantung jarak tanah dengan jalan raya, lanjut dua pengacara itu, tak sedikit pun dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi seperti tuntutan JPU.

“Karena itu, kami menilai Pasal 12 Huruf e UU Tipikor yang diterapkan JPU sangat tak tepat dan berharap majelis hakim dapat membebaskan terdakwa atau memutus perkara ini seadil-adilnya,” lanjut keduanya.

Terdakwa Edi sendiri turut mengajukan pembelaan dan menerangkan jika kebijakannya menunjuk Ruslie AS sebagai koordinator PTSL Sungai Kapih murni untuk mempermudah pelayanan di kelurahan yang dipimpinnya saat itu.

“Saya tak menyangka jika berujung masalah. Padahal jika tak lewat tim itu bisa saja pelayanan di kelurahan kewalahan karena pelayanan yang harus diberikan tak hanya itu,” katanya. Soal SKB tiga menteri hingga perwali dirinya mengaku sama sekali tak mengetahui dua beleid tersebut.

Ditemui terpisah, Ruslie AS yang turut jadi pesakitan turut mengajukan pembelaan. Dalam pembelaan yang dibacakan Suhartini, kuasa hukumnya, pasal yang diajukan tak bisa diterapkan karena terdakwa Ruslie bukanlah ASN. Dalam PTSL ini, terdakwa hanya pihak swasta yang bekerja sama dengan kelurahan lewat perjanjian kerja sama (PKS) dengan Lurah Sungai Kapih, terdakwa Edi.

“Kami meminta majelis hakim untuk memutuskan perkara ini seadil-adilnya atau seringan-ringannya,” ucap dia. Sementara Ruslie, dalam pembelaan pribadinya mengaku administrasi awal tim PTSL yang dijalankannya harus merogoh kocek pribadi. Selain itu, uang yang terkumpul tak semua dinikmatinya.

“Ada sedikit yang saya pakai untuk pribadi. Namun diawal beroperasional saya harus menggunakan dana pribadi,” akunya.

Selepas keduanya membacakan pledoi, JPU Indriasari memilih mengajukan duplik atau tanggapan atas pledoi secara lisan dan memilih tetap pada tuntutan. Dengan demikian, majelis hakim Pengadilan Tipikor Samarinda, Jemmy Tanjung Utama bersama Suprapto dan Fauzi Ibrahim menetapkan akan menggelar sidang pembacaan tuntutan pada 2 Juni 2022.(kri/k8)

ROBAYU