Solar subsidi seperti jadi barang berharga. Karena sulit mendapatkannya. Pengendara truk mesti antre berjam-jam bahkan menginap di SPBU. Kondisi itu sangat memengaruhi biaya logistik.
SAMARINDA-Kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) solar masih terjadi. Kelangkaan sudah terjadi sejak Maret dan hingga kini belum ada perubahan signifikan. Distribusi bahan pokok (bapok) juga terganggu. Apalagi di tengah Ramadan seiring konsumsi yang meningkat. Hal itu menyebabkan kenaikan harga pada beberapa barang, seiring permintaan yang tinggi di tengah pasokan barang yang terhambat.
Sulitnya mendapat solar subsidi di Kaltim bukan masalah baru. Masalah yang selalu terjadi saban tahun itu dinilai terus menghambat distribusi logistik di Benua Etam. Mulai aktivitas pelabuhan hingga pergudangan akan terganggu, seiring transportasi yang tersendat karena kendaraan angkutan kesulitan mendapat pasokan BBM.
Ketua Dewan Perwakilan Wilayah Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (DPW-ALFI) Kaltim Mohamad Gobel mengatakan, dari sisi logistik tidak ada kenaikan harga. Semua masih sama seperti biasanya. Namun, kesulitan mendapat solar subsidi membuat hambatan dan keterlambatan dalam pengiriman.
“Sebenarnya, tidak ada kenaikan harga kirim barang lewat darat. Namun, jika pemilik barang ingin cepat diantar, mereka meminta memakai Dexlite (solar nonsubsidi). Sehingga, biaya selisihnya dibayar oleh pemilik barang,” tuturnya, Kamis (21/4).
Sebab, saat ini semua barang banyak yang terhambat pengirimannya. Disebabkan, banyak driver truk yang tidak mendapat solar subsidi. Akhirnya harus mengantre di pom bensin bahkan sampai menginap. Antrean truk selalu terjadi hampir di seluruh SPBU. Padahal bila solarnya ada, tidak mungkin terjadi antrean yang panjang. Kelangkaan solar saat ini jauh lebih buruk dibanding sebelumnya.
Akhirnya, terjadi penumpukan di pelabuhan. Sebab, yang seharusnya langsung didistribusikan ke gudang, namun harus tertunda keesokan harinya. Arus distribusi yang terganggu itu bisa berdampak ke inflasi yang meningkat.
Sebab, ada alur distribusi yang terganggu. Barang menjadi lambat didistribusikan ke masyarakat. Sehingga, ada kelangkaan yang membuat gangguan suplai di tengah demand yang masih tinggi.
“Ketika pemilik barang ingin cepat, maka mereka meminta menggunakan Dexlite. Tentu biayanya akan lebih mahal, karena tidak menggunakan solar subsidi. Biaya produksi yang lebih tinggi ini, membuat pemilik barang menaikkan harga. Tapi, kalau dari kami tidak ada kenaikan tarif logistik, yang ada hanya penyesuaian harga BBM. Selisihnya ditanggung pemilik barang ketika tidak ingin menunggu hingga berhari-hari,” katanya.
Kelangkaan solar di Kaltim itu sudah sangat parah. Menurut Gobel, hingga mendekati Idulfitri masih susah juga, tidak ada perubahan. Padahal, konsumsi terus bertambah dan keperluan barang semakin meningkat. Namun, gangguan logistik masih menjadi momok besar. Tidak ada perubahan signifikan terkait kelangkaan solar.
Meski sempat datang ke Samarinda, nyatanya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif tidak diarahkan ke SPBU yang antreannya panjang. Seperti SPBU di Sungai Kunjang, yang antreannya sudah sampai depan Mahakam Square. Padahal, pom bensinnya di depan SMA 8 Samarinda. “Jika stok aman, seharusnya para driver tidak perlu mengantre hingga menginap di pom bensin,” sindirnya.
DISELEWENGKAN
Antrean solar bersubsidi di Kaltim tak lepas dari indikasi penyelewengan. Diduga masih terjadi praktik pengetapan, hingga kendaraan dari industri tambang dan perkebunan yang ikut menikmati. Itu sebabnya, meski ditegaskan kuota solar bersubsidi sudah melimpah, namun tak memberikan efek berkurangnya antrean.
“Disebut solar ini bahkan sudah di atas kuota. Tapi, kenyataan di lapangan cepat habis itu di SPBU,” ungkap Wakil Ketua Komisi III DPRD Kaltim Syafruddin, Rabu (13/4).
Ketua Fraksi PKB-Hanura itu menegaskan, Komisi III DPRD Kaltim sejak awal sudah banyak melakukan koordinasi dengan Pertamina dan Pemprov Kaltim. Untuk bisa mengetahui dan memberikan masukan soal kondisi yang menahun ini. Tetapi memang, yang tidak bisa dimungkiri, banyak pihak khususnya industri yang menggunakan BBM bersubsidi. “Ya akar masalahnya di sana. Mereka yang tidak berhak ikut menikmati solar bersubsidi,” jelasnya.
Harusnya, Pertamina dalam hal ini yang memiliki kewenangan mampu melaksanakan pengetatan. Terhadap penjualan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi khususnya solar. Sementara untuk kepolisian bisa lebih intensif melakukan pengawasan dan penyelidikan soal indikasi penyelewengan tersebut. Karena jelas, kondisi antrean kendaraan tersebut banyak merugikan konsumen yang berhak.
“Kalau perlu razia rutin. Sangat dimungkinkan mengidentifikasi kendaraan milik perusahaan atau industri tertentu. Ini langkah yang tepat,” ujarnya.
Terkait pembatasan pembelian solar bersubsidi, Syafruddin menyebut sudah menjadi kebijakan yang tepat. Pasalnya, jika tidak dibatasi, kendaraan-kendaraan kecil yang lebih mengakomodasi pelaku sektor kecil dan menengah akan tidak kebagian. Kalah dengan truk-truk bertonase tinggi milik industri besar.
Untuk bisa mengurangi antrean, dirinya meminta Pertamina melakukan langkah jemput bola. Artinya, memperbanyak kantong-kantong pengisian solar bersubsidi. Hingga menjual secara door to door. Selain untuk memecah antrean panjang, juga bisa sebagai langkah meminimalisasi terjadinya penyelewengan. “Karena jatuhnya lebih tepat sasaran,” ucapnya.
Untuk pemerintah daerah, pihaknya memang memaklumi masih minimnya peran Pemprov Kaltim. Karena memang persoalan kewenangan BBM subsidi merupakan kewenangan pemerintah pusat melalui Pertamina selaku BUMN. “Kecuali Pemprov Kaltim boleh jualan ya bisa saja ada intervensi. Pertamina juga kalau tidak sanggup menangani ya bubarkan saja. Karena memang kondisinya tidak bisa menjawab ketersediaan BBM di Indonesia khususnya di Kaltim,” imbuhnya.
Sementara itu, Kabid Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltim, Baihaqi Hazami menyebut, Pemprov Kaltim memang tidak memiliki kewenangan penuh soal BBM bersubsidi. Yang bisa dilakukan daerah hanya bisa memberikan imbauan kepada pemilik kendaraan. Seperti yang pernah disebutkannya belum lama ini. Di mana kendaraan pelat luar Kaltim diminta tidak ikut antre solar bersubsidi.
“Kewenangan itu masih pada BPH Migas (Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi), namun belum pada tahap pelarangan, belum ada payung hukumnya,” ucap Baihaqi, kemarin.
Jadi, apa yang lebih bersifat mengimbau kesadaran dari pengguna. Untuk sampai pada tahap pelarangan, harus dibahas bersama antara BPH Migas, Pemprov Kaltim, dan Pertamina. Baik membahas terkait regulasi maupun tara cara dan unsur yang akan terlibat dalam kontrol dan pengawasannya.
“Inisiasi bisa saja dari Pemprov Kaltim. Untuk mengusulkan regulasi tersebut kepada BPH Migas. Namun, prediksi pembahasannya akan panjang, karena masalah yang sama juga terjadi di provinsi lain, tentu kebijakan yang dikeluarkan oleh BPH Migas bersifat berlaku secara nasional,” paparnya. (rom/k15)
CATUR MAIYULINDA
@caturmaiyulinda