PARIS – Para elite pendukung Presiden Prancis Emmanuel Macron resah. Sebab di beberapa survei, dukungan untuk saingannya, Marine Le Pen, masih tinggi. Le Pen sebelumnya pernah dua kali mencalonkan diri sebagai kandidat presiden Prancis. Yaitu, pada 2012 dan 2017. Namun, popularitasnya tidak pernah sedekat saat ini.

’’Kami harus meyakinkan penduduk bahwa program Emmanuel Macron adalah yang terbaik untuk Prancis dan mereka,’’ ujar Perdana Menteri Prancis Jean Castex seperti dikutip The Guardian.

Meski saat ini Macron masih unggul, situasi bisa berubah pada hari H pemilihan putaran kedua Minggu (24/4). Karena angka partisipasi penduduk rendah, mereka yang datang ke tempat pemungutan suara bisa jadi adalah pendukung garis keras Le Pen. François Bayrou dari Partai Pergerakan Demokratik menegaskan bahwa pada situasi saat ini, siapa pun bisa menang.

Macron di lain pihak juga menegaskan bahwa dirinya tidak pernah menganggap sudah memenangkan pertandingan. Dia meminta para pendukungnya untuk menilik sejarah pemilihan di negara-negara lainnya. Misalnya, ketika referendum Brexit di Inggris pada 2016. Kala itu, banyak penduduk Inggris yang memilih tak memberikan suara dan menyesal ketika hasil referendum memutuskan Brexit.

Hal serupa terjadi pada pemilu di Amerika Serikat 2017. Banyak pendukung Demokrat yang memilih abstain dan akhirnya mengantarkan Donald Trump ke Gedung Putih. Saat itu, mereka merasa tidak ada gunanya memberikan suara. ’’Saya dapat memberi tahu Anda, hari berikutnya mereka (warga AS, Red) menyesalinya. Jika Anda ingin menghindari hal yang tidak terpikirkan atau sesuatu yang membuat Anda memberontak, memilihlah untuk diri Anda sendiri,” ujar Macron dalam salah satu acara TV.

Macron dan Le Pen melakukan debat terbuka di televisi nasional kemarin (20/4) sekitar pukul 21.00 waktu setempat. Momen itu menjadi ajang bagi dua kandidat tersebut untuk memaparkan programnya, termasuk menjatuhkan lawannya. (sha/c6/bay)