KIEV – Pertempuran di Mariupol, Ukraina kemungkinan tinggal hitungan hari. Bukan karena tentara Ukraina menyerah. Tapi karena mereka sudah kehabisan amunisi untuk melawan tentara Rusia. Pemerintah tak bisa mengirimkan pasokan persenjataan dan makanan ke kota yang menghadap Laut Azov tersebut karena ia dikepung dari berbagai sisi. ’’Hari ini (kemarin, Red) mungkin pertempuran terakhir karena amunisi sudah mulai habis,’’ bunyi unggahan Facebook akun Brigade Marinir 36 Pasukan Ukraina.
Selama 47 hari terakhir, tentara Ukraina di Mariupol dan penduduk sekitar mati-matian bertahan. Banyak tentara dan pejuang sipil yang akhirnya meregang nyawa ataupun ditahan oleh Rusia. Semua tentara infanteri di kota itu sudah tewas. Baku tembak dilakukan pasukan penembak artileri, penembak anti-pesawat, operator radio, pengemudi dan juru masak. Separo dari mereka yang bertahan itu dalam kondisi luka-luka.
Mariupol berbatasan dengan Donetsk, tempat para pemberontak Pro-Rusia bercokol. Itu membuat pergerakan mereka kian sulit. Dalam pidatonya di Parlemen Korea Selatan (Korsel) kemarin, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengungkapkan bahwa puluhan ribu orang telah terbunuh di Mariupol. ’’Namun begitu, Rusia tidak menghentikan serangannya,’’ ujarnya.
Ukraina, di luar prediksi, memang mampu bertahan cukup lama dari serangan Rusia karena bantuan persenjataan dari negara-negara Barat. Meski begitu, korban jiwa akibat invasi ini juga tidak main-main. Ukraina mengklaim mereka menemukan setidaknya 1.222 jenazah di Kiev Oblast. Sebagian berada di kuburan-kuburan massal yang dibuat oleh tentara Rusia saat menduduki wilayah setara provinsi tersebut.
Tim dari Prancis sudah tiba di Ukraina untuk membantu penyelidik lokal mencari bukti dugaan kejahatan perang di Kiev Oblast. Utamanya di Bucha. Ini adalah unit asing pertama yang menawarkan bantuan penyelidikan ke Ukraina.
Bank Dunia juga memperkirakan bahwa output PDB Ukraina bakal terpangkas hingga lebih dari 45 persen gara-gara perang. Rusia juga menuai dampaknya. Kremlin diperkirakan bakal mengalami resesi. Beberapa negara di sekitar kedua negara diperkirakan ikut terimbas.
’’Perang memiliki dampak yang menghancurkan pada kehidupan manusia dan kehancuran ekonomi,’’ kata Bank Dunia seperti dikutip The Guardian.
Nasib mengenaskan juga menimpa penduduk Sri Lanka. Krisis ekonomi berkepanjangan di negara tersebut memakan korban jiwa. Sri Lanka Medical Association (SLMA) mengungkapkan bahwa stok obat-obatan di negara tersebut kini sudah hampir habis. Para dokter kini harus bertindak sebagai “Tuhan”. Mereka dipaksa memilih pasien mana yang akan diselamatkan dan diberi obat dan mana yang dikorbankan.
’’Jika suplai tidak membaik dalam hitungan hari, maka korban jiwa bakal lebih buruk daripada pandemi (Covid-19),’’ bunyi pernyataan SLMA.
Ini adalah krisis terburuk sejak negara tersebut merdeka pada 1948. Massa dan kelompok pebisnis sudah menuntut Presiden Gotabaya Rajapaksa untuk mundur dari jabatannya. Pun demikian dengan seluruh keluarganya yang diberi jabatan politik. Namun Rajapaksa bergeming. Dia memilih bertahan jadi orang nomer satu di Sri Lanka. (sha/bay)