Mengobati orang yang sakit seperti main kucing-kucingan di Myanmar. Hal itu yang dialami para relawan medis.
Para relawan medis di Myanmar harus bersembunyi dari militer. Jika ketahuan mengobati orang sakit, mereka bakal ditangkap. Gedung-gedung yang tidak terpakai menjadi tempat untuk merawat pasien dengan obat seadanya.
’’Ketika pertempuran dimulai, kami harus lari dan bersembunyi di hutan,’’ ujar Aye Naing, relawan medis. Itu bukan nama sebenarnya. Naing harus menyembunyikan identitasnya untuk melindungi dirinya sendiri dan keluarganya.
Sebagian besar obat dan alat medis dia simpan di dalam tas ransel, untuk memudahkan membawa jika tiba-tiba mereka harus melarikan diri. Mereka memilih cara gerilya, agar tidak mudah terdeteksi oleh junta militer.
Naing meninggalkan pekerjaannya di rumah sakit hanya beberapa hari setelah kudeta. Banyak pekerja mogok termasuk tenaga medis sebagai bentuk protes kepada militer. Sebagian besar RS dan klinik tutup. Beberapa pekerja kesehatan tertangkap maupun terbunuh dalam aksi unjuk rasa. Berdasarkan laporan Insecurity Insight, Physicians for Human Rights, dan Johns Hopkins University, saat ini ada 190 pekerja medis yang ditangkap dan 25 lainnya dieksekusi.
Secara keseluruhan, setidaknya 1.300 orang penduduk tewas sejak kudeta pada Februari lalu. Yang terbaru adalah insiden di Mo So, Kayah, pada Jumat (24/12). Junta militer membunuh setidaknya 30 orang dan membakar jenazahnya. Beberapa perempuan dan anak-anak. Lembaga Save the Children melaporkan 2 relawan mereka hilang dalam insiden itu.
Juni lalu, Naing jadi relawan di negara bagian Kayah. Di wilayah ini, junta militer kerap bertempur dengan kelompok oposisi yang menentang kudeta. Peranan relawan medis menjadi penting untuk mengobati pejuang yang terluka. Mereka tidak bisa ke fasilitas kesehatan yang dikelola rezim militer.
Ketika gelombang penularan Covid-19 melonjak Juni–Juli lalu, angka penularan naik hingga 40 ribu per hari. Namun dalam waktu yang cukup cepat, junta militer mengklaim angka penularan sudah turun menjadi 150 kasus per hari. Varian Omicron disebut belum terdeteksi. Namun kenyataan di lapangan, tracing melalui tes Covid-19 jarang digelar. Sistem kesehatan sudah hampir lumpuh. Itu membuat angka penularan yang tercatat resmi sangat rendah.
Kayah adalah area dengan tingkat penularan cukup tinggi. Sebanyak 85 ribu penduduk di Kayah kehilangan tempat tinggal dan menghuni kamp pengungsian yang penuh. Tak ada kebijakan jaga jarak sehingga risiko penularan virus SARS-CoV-2 menjadi tinggi. Mayoritas pasien di klinik rahasia relawan medis adalah mereka yang berasal dari pengungsian. Ada juga kelompok anti kudeta yang tergabung dalam Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF).
Klinik darurat tempat Naing dan rekan-rekannya mengabdi sukarela itu hanya memiliki fasilitas seadanya. Untuk swab test Covid-19 misalnya, mereka menggunakan pembatas sisa plastik yang direntangkan di atas bambu atau kayu. Jika dinyatakan positif, pasien hanya diberi resep parasetamol dan vitamin.
Obat-obatan yang mereka miliki juga terbatas. Mendapatkannya sangat sulit. Human Rights Watch (HRW) melaporkan bahwa di daerah-daerah yang tingkat perlawanannya masih tinggi mendapat blokade dari junta mliter.
Itu termasuk bantuan kemanusiaan dan suplai medis. Relawan dan PDF harus menyelundupkan obat-obatan dan alat kesehatan agar bisa melewati pos-pos pemeriksaan junta militer. Jika sampai ketahuan, mereka bisa ditangkap. ’’Kami mempertaruhkan nyawa kami,’’ ujar Hla Aung, perawat lain yang juga menjadi relawan, seperti dikutip Agence France-Presse. (sha/bay/jpg/dwi/k8)