SAMARINDA–Sengkarut Kaveling Tanah Matang (KTM) Perumahan Korpri di Samarinda masih menyisakan persoalan yang tak kunjung beres hingga kini. Dua putusan pengadilan yang melilit pengadaan lahan seluas 30 hektare di Pelita 8, Pulau Atas, Kecamatan Sambutan, menjadi pedang bermata dua untuk Pemkot Samarinda.

Pengadilan Tipikor Samarinda memvalidasi adanya korupsi dengan kerugian Rp 18 miliar atas proyek senilai Rp 43,5 miliar yang dikerjakan PT Davindo Jaya Mandiri (DJM) medio 2007 silam. Dari perkara itu, Direktur DJM David Effendi dinyatakan bersalah atas kerugian pemerintah dalam proyek tersebut. David diharuskan mengembalikan pembayaran proyek yang sudah diterimanya ke kas daerah.

Di sisi lain, pengadilan lewat gugatan perdata yang dilayangkan PT DJM, menyatakan pemkot wanprestasi lantaran hanya membayar sebesar Rp 18 miliar dari nilai kontrak sebesar Rp 43,5 miliar. Pemkot pun diwajibkan membayar sisa nilai kontrak Rp 25,5 miliar atas proyek itu. Polemik ini mencuat beberapa tahun terakhir. Semua ajek dimulai lewat surat permintaan yang diajukan PT DJM ke Pemkot Samarinda untuk menjalankan putusan perdata yang mereka layangkan karena telah berkekuatan hukum tetap.

Sementara Pemkot Samarinda, memilih bergeming. Lantaran putusan pengadilan itu jika dijalankan mereka justru berpotensi terjun bebas ke jurang korupsi.

Kali ini, PT DJM meminta DPRD Samarinda untuk memediasi pihaknya dengan pemkot soal pembayaran yang tertuang dalam putusan perdata dan telah inkrah 2016 lalu. Dengar pendapat perwakilan PT DJM dengan Komisi I DPRD Samarinda sempat bergulir, 9 Desember lalu.

Hasil hearing itu dibawa Komisi I DPRD Samarinda untuk dibahas dengan Pemkot Samarinda, kemarin (20/12). Terlebih, orang nomor satu di Pemkot Samarinda baru saja berganti. Wali Kota Samarinda Andi Harun mengaku memilih belum bersikap atas tuntutan yang disampaikan PT DJM lewat DPRD Samarinda tersebut.

“Harus hati-hati, perlu clearing dulu. Jangan sampai muncul masalah hukum baru yang menyeret pemerintah. Soal bayar jelas belum kepikiran sampai situ,” ucapnya dikonfirmasi awak media.

Untuk diketahui, perkara korupsi KTM Tahap IV Perumahan Korpri tak hanya menyeret David Effendi seorang diri. Ada mantan Sekretaris Kota Samarinda Fadli Illa dan sekretaris Korpri Samarinda alm Yusradiansyah. Fadli Illa resmi menjalani pidana selama enam tahun medio 2017.

Dua putusan bertolak belakang dengan klasifikasi kasus yang berbeda. Yakni, korupsi dan perdata. Jelas membuat pemkot tak bisa salah langkah mengambil sikap. Menurut Andi harun, pemkot perlu menelaah regulasi yang mengatur soal itu.

Terlebih, kasus ini merupakan peninggalan pemimpin daerah terdahulu, ketika Samarinda masih dipimpin almarhum Achmad Amiens. Dalam kasus korupsi perkara itu, PT DJM jelas terbukti korupsi dengan kerugian sebesar nilai pembayaran pemkot kala itu, yakni Rp 18 miliar. Namun di perkara perdata, Pemkot Samarinda justru diminta melunasi kontrak kerja sama yang masih menyisakan Rp 25,5 miliar dari nilai total kontrak Rp 43,5 miliar.

“Dari hearing dengan dewan tadi pun sudah saya tegaskan, pemkot tak akan keluar serupiah pun kalau belum jelas,” tegas Politikus Gerindra Kaltim itu. Mencari advis untuk melangkah pun tengah ditelusuri. “Bisa koordinasi dengan kejaksaan atau bentuk tim khusus,” imbuhnya. Terpisah, ketua Komisi I DPRD Samarinda Joha Fajjal menerangkan, dewan hanya menjadi fasilitator atas tuntutan yang diajukan PT DJM.

Dualisme putusan yang membuat gamang itu, kata dia, memang perlu dicari solusinya agar tak berlarut-larut. “Kami ingin dengar dari kedua sisi karena sebelumnya sudah dengar dari sisi PT DJM. Sekarang dari pemkot,” katanya saat diwawancara selepas hearing di Balai Kota, Sekretariat Kota Samarinda. Dalam hearing, lanjut dia, wali Kota Samarinda tegas menolak menjalankan putusan perdata yang mewajibkan pemkot membayar Rp 25,5 miliar.

“Dari hearing tadi, wali kota (Samarinda) maunya pihak PT DJM lunasi dulu kerugian dari kasus korupsi itu yang Rp 18 miliar. Baru pemkot mau jalankan putusan perdata itu,” tutur Politikus NasDem Samarinda ini.

Dalam kasus korupsi, David Effendi divonis selama 4 tahun pidana penjara ketika perkara ini bergulir di Pengadilan Tipikor Samarinda. Kala itu, dia dan JPU sama-sama tak puas. JPU merasa putusan jauh dari tuntutan yang mereka ajukan selama 12 tahun pidana penjara.

Banding pun jadi satu-satunya pilihan dan hasilnya vonis David malah bertambah menjadi 7 tahun pidana penjara. Perkara terus berlanjut ke Mahkamah Agung (MA). Upaya hukum tertinggi dicoba direktur PT DJM ini demi memangkas pidana tersebut.  Nahas, Artidjo Alkostar yang jadi ketua tim pengadil kasus ini di MA, menolak kasasinya dan menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Kaltim. (lihat infografis). David pun beberapa kali hendak dieksekusi Kejari Samarinda. Namun selalu gagal lantaran penyakit strok yang diidapnya.

Tercatat, selepas ditolaknya eksekusi pada April 2016, kejaksaan mengambil second opinion(SO) untuk memverifikasi kesehatan David.  Hasilnya seirama, kesehatan David tak memungkinan untuk ditahan. Tak patah arang, eksekusi kedua ditempuh dan ditolak dengan alasan yang sama pada 13 Februari 2018. David Effendi melawan dengan mengajukan peninjauan kembali (PK) dan berakhir dengan penolakan MA pada Desember 2018.

Untuk kali ketiga, Kejari Samarinda kembali mencoba mengeksekusi David Effendi pada 8 Januari 2020 dan langkah eksekusi kembali mendapat penolakan dengan alasan yang sama, Stroke yang diidap terpidana tak memungkinnya untuk ditahan. (ryu/dns/riz/k8)