Amerika Serikat (AS) memiliki prinsip menghindarkan diri dari peperangan di negaranya sendiri. Karena itu, sejak dulu Amerika selalu menerapkan forward strategy, yaitu hanya ingin berperang di luar wilayah negaranya.

 

JAKARTA - Founder and Chairman Indonesia Center for Air Power Studies, Chappy Hakim, mengungkapkan bahwa Amerika Serikat (AS) menggunakan isu sengketa di Laut Cina Selatan (LCS) untuk melebarkan pengaruhnya di kawasan Indo-Pasifik. Hal itu dilakukan AS untuk menandingi pengaruh Tiongkok di kawasan tersebut.

Pola yang dilakukan AS, ujar Chappy, adalah menyuarakan tentang adanya bahaya Tiongkok di Laut Cina Selatan kepada negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam dan Filipina, yang memang memiliki pertikaian wilayah dengan Tiongkok.

“Pasca berakhirnya Perang Dingin 1991, ada pemotongan signifikan belanja pertahanan AS. Hal itu menyebabkan pangkalan militernya di Filipina closed down. Kekuatan armada ketujuh di Pasifik juga berkurang,” ujar Chappy dalam Webinar Moya Institute bertajuk ‘Perebutan Pengaruh di Kawasan Pasca Kapitulasi AS dari Afganistan’, Jumat (17/12).

Sementara, sambung Chappy, di sisi lain pertumbuhan ekonomi Tiongkok dan India meningkat secara fantastis. Peningkatan pertumbuhan ekonomi itu diikuti pula oleh peningkatan anggaran pertahanan secara signifikan.

Hal itu semua, ujar Chappy, menandakan bahwa pengaruh Amerika di Indo-Pasifik semakin berkurang. Jadi, ketika muncul isu sengketa Laut Cina Selatan, AS pun berupaya menggunakan isu tersebut untuk memperkuat pengaruhnya di kalangan negara-negara Asia Tenggara.

“AS berusaha mempengaruhi negara-negara Indo-Pasifik, bahwa ada ancaman di kawasan tersebut, yakni Tiongkok. Upaya itu dilakukan untuk mengimbangi melemahnya kekuatan militer mereka di kawasan,” katanya.

Pada kesempatan yang sama, pemerhati isu-isu global Imron Cotan mengungkapkan, sebagai sebuah negara kontinental, AS memiliki prinsip menghindarkan diri dari peperangan di negaranya sendiri. Karena itu, sejak dulu Amerika selalu menerapkan forward strategy, yaitu hanya ingin berperang di luar wilayah negaranya.

Kata Cotan, pemboman Pearl Harbour dan serangan teroris 911, membuat AS secara kalap melancarkan “War On Terror” (WOT), yang praktis gagal, khususnya di Afganistan.

“Sehingga ketika terjadi peristiwa Pearl Harbour dan 911, sesungguhnya AS sangat terluka, dan mengamuk. Pasca 911, misalnya, AS juga segera menyerang Afganistan untuk memburu Osama bin Laden sekaligus menjatuhkan Taliban,” ujar Cotan.

Namun, lanjut Cotan, setelah kegagalan-kegagalan tersebut, AS kembali mencari musuh bersama dan tampaknya Tiongkok secara konsensus ditinjau dari perspektif tersebut.

“Kalau ketika perang Vietnam dan Afganistan dulu, publik Amerika tidak mendukung, tapi tampaknya untuk Tiongkok, Amerika satu suara bahwa Tiongkok adalah common enemy, terutama bila dikaitkan dengan perang dagang,” ujar Cotan.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto menyatakan, kegagalan inisiatif multinasional AS memerangi terorisme di Timur Tengah, yang ditutup dengan kapitulasi negara tersebut dari Afganistan, memunculkan kecenderungan kuat AS menyerahkan perang melawan terorisme kepada negara-negara terkait.

Dikatakan Hery, AS kembali mengonsentrasikan diri untuk menandingi pengaruh Tiongkok yang semakin meningkat di kawasan Indo-Pasifik akhir-akhir ini.

“Indikator kuat terjadinya hal itu terdeteksi dari pembentukan pakta militer baru Australia, Inggris, dan Amerika (AUKUS). Dan peningkatan ketegangan akibat perebutan pengaruh Tiongkok-AUKUS tersebut berpotensi mengganggu stabilitas politik dan keamanan regional, di mana Indonesia termasuk di dalamnya,” ujarnya. (jpc/rdh/k16)