KUALA LUMPUR– Penduduk Malaysia marah. Pemerintah dituding menerapkan standar ganda dalam penegakan aturan Covid-19. Itu karena perayaan pencapaian 100 hari pemerintahan Perdana Menteri Ismail Sabri Yaakob digelar besar-besaran tanpa memperhatikan protokol kesehatan. Acara itu digelar selama 4 hari di Kuala Lumpur Convention Centre sejak Kamis (9/12).

Berdasarkan keterangan Kepala Sekretaris Pemerintahan Malaysia Zuki Ali, lebih dari 100 ribu orang datang ke acara tersebut. Meski begitu, denda yang dijatuhkan kepada penyelenggara untuk pelanggaran prokes hanya MYR 1.000 atau setara Rp 3, 4 juta.

Itu jauh berbeda dengan denda sebesar MYR 20 ribu atau Rp 67,8 juta yang dikenakan selama pemilihan di negara bagian Melaka bulan lalu. Saat itu kampanye fiisk dilarang. Denda jutaan ringgit juga dikenakan pada pihak-pihak yang merayakan pesta secara ilegal di Kuala Lumpur. ’’Apakah mendorong (kenaikan) jumlah kasus Covid-19 juga merupakan bagian dari KPI (Indeks Kinerja Utama) untuk 100 hari kedepan?’’ sindir Presiden Asosiasi Medis Malaysia Koh Kar Chai seperti dikutip The Straits Times.

Hal senada juga dilontarkan oleh tokoh oposisi Lim Kit Siang. Menurutnya denda di acara tersebut hanya kian menggaris bawahi bahwa pemerintah kurang serius dalam memerangi pandemi. Saat ini tingkat penularan rata-rata di atas 4 ribu kasus per hari selama tujuh bulan terakhir. Pada Minggu (12/12) untuk pertama kalinya sejak Mei turun di angkat 3.490.

’’Meski begitu PM Ismail memberikan skor 90 persen untuk kinerja 100 hari Kabinet, itu menjadikan Malaysia target baru lelucon dan penghinaan dunia,’’ tegas anggota perlemen untuk wilayah pemilihan Iskandar Puteri tersebut.

Menteri Kesehatan Khairy Jamaluddin mengakui kesalahan. Departemen yang mengorganisir acara bertajuk Program 100 Hari Aspirasi Keluarga Malaysia itu gagal menerapkan standar operasional prosedur untuk situasi pandemi. Meski begitu, pihaknya tidak bisa memberikan sanksi lebih dari MYR 1.000. Itu karena sehari sebelum acara, aturan status darurat telah dicabut.

Tapi, pernyataan Khairy tidak beralasan. Sebab pada Kamis malamnya, polisi menggerebek kelab malam di Kuala lumpur dan mengeluarkan denda MYR 245 ribu (830,7 juta). Itu sudah termasuk MYR 25 ribu (Rp 84,7 juta) denda pada pengelola lokasi. Acara pemerintah dan penggerebekan itu terjadi di hari yang sama.

’’Kredibilitas kami (pemerintah, Red) telah terkikis. Saya sadar publik marah. Kami mohon maaf atas apa yang terjadi dan akan belajar. Jangan sampai kesalahan kami membuat Anda berhenti menjalankan SOP,’’ ujar Khairy. Ismail di lain pihak belum memberikan komentar apapun.

Setali tiga uang, PM Inggris Boris Johnson juga mendapatkan kecaman serupa. Itu gara-gara terungkap skandal pesta Natal yang digelar para staf di kantornya, 10 Downing Street. Acara itu digelar tahun lalu. Saat itu Inggris tengah lockdown, pemerintah melarang acara berkumpul di dalam ruangan. The Mirror pada Minggu (12/12), merilis foto Johnson tengah ikut pesta secara virtual. Dia membacakan quiz untuk para stafnya. Imbas skandal ini, kepercayaan untuk Johnson dan Partai Konservatif yang digawanginya turun drastis.

Kasus yang tengah viral itu terungkap saat pemerintahan Johnson menerapkan rencana B guna mencegah penularan varian Omicron. Kemarin Inggris memastikan menjadi negara pertama yang mencatat kematian akibat varian Omicron. Beberapa pihak melabelinya sebagai partygate scandal. Terlebih saat kasus terungkap, Johnson terkesan enggan mengakui bahwa pesta itu ada. Banyak pihak menuntut agar dia memberikan klarifikasi ke House of Commons atau Majelis Rendah.

’’Tampaknya Boris Johnson telah berbohong pada negara ini dan melanggar hukum,’’ ujar Wakil Ketua Partai Buruh Angela Rayner seperti dikutip Daily Mail. Menurutnya Johnson dan Partai Konservatif menerapkan standar ganda. Ada aturan untuk mereka dan aturan lain (yang lebih ketat, Red) yang diterapkan ke selain mereka. (sha/bay)