Amerika Serikat dan sekutunya berang. Itu karena laporan Human Rights Watch (HRW) menunjukkan bahwa Taliban kembali melanggar janji.

 

WASHINGTON DC –Talibanmengeksekusi satu per satu pasukan keamanan pemerintahan Afganistan terdahulu. Padahal, sebelumnya mereka berjanji bakal memberikan pengampunan.

“Kami sangat prihatin dengan laporan pembunuhan dan penghilangan paksa mantan anggota pasukan keamanan Afganistan seperti yang didokumentasikan oleh HRW dan lembaga lainnya,” bunyi pernyataan bersama AS, Uni Eropa (UE), dan 20 negara lainnya yang dirilis oleh Departemen Luar Negeri AS.

Mereka menegaskan bahwa tindakan yang dituduhkan HRW itu adalah pelanggaran HAM berat. Hal itu juga berbeda dengan janji pemberian amnesti yang sebelumnya dipaparkan Taliban. AS dan sekutunya meminta agar penguasa baru Afganistan itu menegakkan dan menjunjung tinggi komitmennya.

Kecaman itu bermula saat HRW merilis laporan bahwa ada lebih dari 100 eksekusi dan penculikan mantan pejabat Afganistan sejak Taliban berkuasa sekitar 4 bulan lalu. Mereka juga membuktikan adanya pembunuhan dan penghilangan paksa 47 personel.

Seperti mantan anggota pasukan keamanan nasional Afganistan, polisi, agen intelijen, dan personel militer lainnya. Mereka ada yang menyerahkan diri ataupun ditangkap Taliban pada medio 15 Agustus hingga 31 Oktober.

HRW mengatakan bahwa para pemimpin Taliban mengarahkan pasukan keamanan yang menyerah untuk mendaftar ke pihak berwenang. Alasannya untuk diperiksa terkait hubungan dengan unit militer atau pasukan khusus tertentu, serta untuk menerima surat yang menjamin keselamatan mereka.

Namun, Taliban menggunakan pemeriksaan tersebut untuk menahan dan mengeksekusi mereka. Itu terjadi hanya beberapa hari setelah pendaftaran. Jasad mereka ditinggalkan begitu saja untuk ditemukan oleh kerabat atau komunitasnya.

AS dan sekutunya meminta agar laporan HRW itu segera diselidiki secara transparan. Mereka yang bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut harus bertanggung jawab. Setiap langkah harus dipublikasikan dengan jelas, agar hal serupa tidak terulang kembali.

Manuver Taliban saat ini masih meresahkan. Kebijakan-kebijakan mereka membuat warga sipil diterpa ketakutan. Saat ini akses pendidikan untuk perempuan juga belum adil. Situasi ekonomi di negara tersebut karut-marut. Lebih dari separuh penduduknya kini mengalami kelaparan ataupun malnutrisi akut.

Dilansir Al Jazeera, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengungkap bahwa beberapa negara anggota UE tengah mempertimbangkan untuk membuka misi diplomatik gabungan di Afganistan. Namun, dia menegaskan bahwa itu bukan langkah memberi pengakuan pada Taliban.

“Ini adalah langkah yang berbeda dari pengakuan atau dialog politik dengan Taliban. Kami akan memiliki perwakilan di sana segera setelah kami dapat membukanya,” ujarnya.

Terpisah, Presiden AS Joe Biden dan Presiden Rusia Vladimir Putin berencana menggelar dialog besok (7/12). Tapi bukan secara langsung, melainkan lewat virtual. Mereka bakal membahas tentang ketegangan yang kini terus meningkat di perbatasan Rusia-Ukraina.

Dialog ini digelar setelah Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengungkapkan bukti bahwa Rusia berencana melakukan serangan berskala besar ke Ukraina. Namun, dia belum bisa memastikan apakah Putin sudah membuat keputusan final.

Yaitu bakal menginvasi Ukraina atau tidak. Rusia pada 2014 lalu telah mengambil alih Krimea. Itu adalah salah satu wilayah paling strategis milik Ukraina.

Ukraina menuding Rusia telah mengerahkan kendaraan tempur lapis baja, sistem peperangan elektronik dan 94 ribu tentara di wilayah perbatasan dua negara. “Rusia bisa jadi telah merencanakan serangan militer pada akhir Januari nanti,” ujar Menteri Pertahanan Ukraina Oleksii Reznikov. (sha/bay/jpg/kri/k16)