MENJADI salah satu kampus yang mendukung penuh program Kampus Mengajar, membuat Mirsda Tri Ananda yang awalnya tak tahu-menahu menjadi tertarik mengikuti seleksi. Hingga pihak program studi (prodi) yang gencar sosialisasi, mengumpulkan mahasiswa dalam Zoom Meeting.
“Jadi, waktu itu saya masih semester 4. Alhamdulillah dari Universitas Ahmad Dahlan (UAD) dan prodi saya itu dukung banget. Karena kan ada konversi SKS, jadi kami enggak perlu lagi KKN dan KKL (kuliah kerja lapangan) ke sekolah,” beber mahasiswi Prodi Pendidikan Biologi itu.
BERKESAN: Mirsda Tri Ananda bersama muridnya di SD Islam DDI Sangatta Utara.
Mirsda memilih SD di daerah Sangatta untuk penempatan. Lebih lanjut, ucap dia, alamat yang mesti diinput dalam biodata adalah domisili sesuai KTP. Sebab, beberapa temannya tidak dinyatakan lulus karena memasukkan alamat indekos.
“Jadi, teman itu bukan orang Jogjakarta KTP-nya, tapi masukkan alamat kos di sana. Ternyata enggak lolos. Itu juga yang dijelaskan dari pihak prodi. Soalnya kan tujuan program ini juga termasuk mengembangkan daerah asal,” ungkap bungsu dari tiga bersaudara itu.
Mulanya dia sempat takut bila penempatan SD jauh dari rumahnya di Sangatta Utara. Setelah hasil keluar, ia ditempatkan di SD Islam DDI Sangatta Utara. Hanya ada dua mahasiswa Kampus Mengajar di sana. Dia dan satu lagi dari Pendidikan Fisika, Universitas Mulawarman.
“Nah yang makin jadi tantangan dan lucu, saya kan Biologi dan teman saya itu fisika. Pelajaran itu belum ada di SD. Apalagi kan SD sekarang pelajarannya tematik. Jadi kami ya belajar dulu mengenai tematik itu,” bebernya.
Beruntung, kampus tempatnya menimba ilmu sudah menerapkan sistem mengajar ke sekolah sejak semester dua, sehingga Mirsda sudah terbiasa. Namun, perlu pembiasaan lebih untuk menangani siswa usia SD.
Pengalaman berkesan dia rasakan. Merupakan sekolah di daerah 3T (terdepan, terluar dan terpencil). Ruangan kelas disebutkan Mirsda masih kurang layak. Kondisi meja kursi memprihatinkan hingga ruangan kelas yang dipenuhi nyamuk.
“Jadi kami sebelum mengajar itu bawa lotion antinyamuk dulu untuk dibagi ke siswanya. Terus juga awalnya sekolah itu sistemnya daring, tapi setelah kami pelajari sangat kurang efektif. Jadi, kami beri masukan untuk minimal dua kali dalam seminggu ada belajar tatap muka. Alhamdulillah diterima masukan kami. Tapi tentu kami tetap patuhi protokol kesehatannya,” jelas perempuan kelahiran 2000 itu.
Dia merasakan benar perbedaan pemahaman siswa di tempatnya bertugas dibanding sekolah sewaktu dia mengajar di Jogjakarta. “Bisa dibilang fasilitas di Jogjakarta sudah lumayan. Di sini belum. Jadi imbasnya ke tingkat pemahaman. Ada tuh, saya lagi di depan menjelaskan, tiba-tiba ada yang lempar galon ke depan kelas. Adaptasi di awal lumayan juga,” lanjutnya lalu terkekeh.
Keseriusan Mirsda terbukti dari berbagai alat bantu ajar yang dia buat dan bawa ke kelas. Anak-anak mulai menaruh perhatian lebih. Tidak sekadar teori, anak juga praktik.
“Jadi ya saya penginnya mereka merasakan juga, apa yang bisa dibilang anak-anak SD lainnya rasakan. Minimal dari segi bahan ajar yang saya bawa,” katanya. Berhasil mengambil hati, Mirsda mengatakan, jika akhir masa tugas, tampak beberapa siswa sangat sedih kala perpisahan.
Cerita lain, para guru yang mulanya merasa tak percaya diri membawa anak muridnya ikut lomba, dipatahkan olehnya. Dia mengajak siswa didiknya yakni kelas empat untuk mengikuti lomba cerita.
“Pencapaian lainnya itu saya berhasil ajak anak didik untuk ikut lomba bercerita tingkat kabupaten. Dulu kalau ada undangan lomba, guru-gurunya semacam pesimis duluan. Tapi alhamdulillah, saya bantu anak itu untuk persiapan dan latihan. Sangat berkesan sekali,” ungkapnya.
Ada banyak sekolah yang nasibnya serupa. Dia berharap bisa dapat perhatian lebih. Dengan adanya Kampus Mengajar diakui menjadi salah satu angin segar untuk peningkatan mutu pendidikan di tengah pandemi.
“Semoga angkatan dua bisa melanjutkan dan lebih baik lagi. Setelah mengajar kemarin, saya jadi semakin termotivasi dan semakin yakin untuk menjadi guru,” pungkasnya.
SATU KELAS HANYA ENAM ORANG
Kisah lain datang dari Wafa Zakiyatul Afiyah, mahasiswi Program Studi Teknik Industri Pertanian di Institut Pertanian Bogor (IPB). Dia bertugas di SD Sumber Kasih Bontang.
Saat datang, sistem belajarnya online. Dia diminta untuk mengajar siswa kelas empat yang jumlahnya hanya enam orang. Dia menyebut, total siswa di sekolah itu hanya 35 orang.
“Nah, ada satu murid di kelas saya yang enggak punya fasilitas pendukung untuk belajar daring. Jadi dia setiap hari ke sekolah dan kami yang mengajari,” bebernya. Termasuk memberi pelajaran privat dengan berkunjung ke rumah si murid.
SATU MURID: Dari enam murid kelas empat yang diajar Wafa Zakiyatul Afiyah, ada satu murid yang terbatas fasilitas dan mesti setiap hari ke sekolah.
Berbeda dengan mahasiswa Kampus Mengajar lain yang sudah memiliki pengalaman menjadi guru. Tidak dengan Wafa. Sehingga benar-benar jadi pengalaman pertama. Apalagi menangani siswa SD yang terbilang cukup aktif.
Ada tujuh mahasiswa yang ditempatkan di sana. Sebagian besar mahasiswa pendidikan, sehingga dia cukup terbantu diskusi mengenai sistem mengajar. “Selain itu, adek saya juga kelas 4. Jadi ya lumayan paham juga sedikit,” ujar perempuan kelahiran 2000 itu.
Motivasinya mengikuti program yakni merasa prihatin dengan kesenjangan pendidikan yang cukup jauh di kotanya, sehingga dia menyampaikannya pada kolom saran di laporan yang dia buat.
Mengikuti Kampus Mengajar jadi salah satu bekal pengalaman. Gambaran potret pendidikan pula yang menurut Wafa banyak yang perlu dibenahi. “Jadi semua siswa itu punya hak yang sama. Termasuk kesempatan belajar dengan fasilitas yang sama,” tutup alumnus SMA YPK Bontang itu. (rdm/tom/k16)